3 | Berniat Merebut

1.1K 125 6
                                    

Amir segera memberikan kopi pesanan Vano setelah tiba di kantor milik Keluarga Bareksa. Vano menerima kopi itu seraya menatap lama ke arah Amir.


"Tumben Pak Amir beli kopinya agak lama. Coffee shop-nya sedang ramai, Pak?" tanya Vano.

"Tidak ramai, Mas Vano. Hanya tadi saya ketemu sama Pak Yanto di coffee shop itu. Jadinya saya ngobrol sebentar," jawab Amir, jujur.

"Pak Yanto? Siapa itu, Pak?"

"Itu Mas, sopirnya Keluarga Wiratama."

"Oh, sopirnya Keluarga Wiratama. Eh ... bukannya Rumah Sakit Ibu dan Anak milik Tante Retno tidak ada di kawasan sini, ya? Kok bisa sopirnya beli kopi di kawasan sini? Jauh sekali jaraknya dari rumah sakit, 'kan?" heran Vano.

"Pak Yanto bilang sama saya, kalau hari ini dia memang sengaja ke daerah sini karena harus mengantar Nyonya Retno dan Mas Raja ke butik yang ada di samping coffee shop. Mereka mau pesan gaun pengantin untuk calon Istrinya Mas Raja. Insya Allah Mas Raja akan menikah dua hari lagi, katanya," jelas Amir.

"Oh, ya? Raja akan menikah? Selama ini bukannya dia selalu sibuk dengan pekerjaan, ya? Kok bisa tiba-tiba punya calon Istri?"

Vano tampak semakin heran. Amir bisa melihat ekspresi heran di wajah Vano, karena selama ini yang Vano tahu Raja adalah orang yang tertutup dan tidak welcome terhadap wanita mana pun. Jadi ketika Vano mendapat kabar kalau Raja akan menikah dua hari ke depan, jelas saja pria itu merasa sangat kaget disertai heran.

"Pak Amir tahu siapa calonnya? Pak Yanto kasih tahu Pak Amir atau tidak tentang calon Istrinya Raja?" Vano kembali mengajukan pertanyaan.

"Iya, Mas. Tadi Pak Yanto bilang kok sama saya tentang siapa calon Istrinya Mas Raja," jawab Amir.

"Siapa, Pak? Coba kasih tahu saya, siapa tahu saya kenal," pinta Vano, seraya tersenyum jahil seperti biasanya.

Amir pun terkekeh pelan saat tahu kalau Vano sedang merasa penasaran tentang siapa calon istri Raja yang selama ini selalu menjaga jarak dari wanita.

"Mas Vano penasaran, ya?" goda Amir.

"Jelaslah aku penasaran, Pak Amir. Makanya aku minta Pak Amir kasih tahu siapa orangnya. Masalahnya Raja itu selama ini selalu jaga jarak kalau ada wanita yang berusaha mendekatinya. Eh, sekarang mendadak aku dapat kabar kalau dia akan segera menikah dalam waktu dua hari ke depan. 'Kan tidak lucu kalau aku tahu mengenai siapa calon Istrinya Raja ketika undangan pernikahannya sampai di tangan Mama dan Papaku," jelas Vano.

Amir benar-benar terkikik geli saat melihat ekspresi Vano yang selalu saja masih seperti anak kecil jika sudah menginginkan sesuatu.

"Mas Vano kenal kok dengan calon Istrinya Mas Raja," ujar Pak Amir.

"Hah? Masa? Siapa orangnya, Pak Amir? Ayolah, langsung saja sebut namanya jika aku memang kenal," pinta Vano, terlihat sudah tidak sabar.

"Insya Allah Mas Raja akan menikah dengan Mbak Ziva, Mas Vano."

Senyum di wajah Vano pun mendadak lenyap saat mendengar nama Ziva disebut oleh Amir. Perasaannya mendadak menjadi tidak menentu dan sulit untuk ditenangkan.

"Ziva? Maksud Pak Amir, Ziva Adinata?"

"Iya, Mbak Ziva Adinata. Mantannya Mas Gani yang diputuskan gara-gara Mas Gani lebih memilih melanjutkan perselingkuhannya dengan Mbak Rere."

Amir sebenarnya tahu kalau Vano masih marah soal perselingkuhan antara Rere dan Gani yang terjadi di belakangnya. Namun bagaimana pun, Amir tidak mungkin tidak membahas hal itu selama-lamanya, karena itu adalah fakta yang harus Vano terima. Menghindar untuk tidak membicarakannya justru akan membuat Vano semakin sulit membuka diri lagi ke depannya.

"Mas Vano kenapa? Mas Vano tidak suka mendengar kalau Mas Raja akan menikah dengan Mbak Ziva?" tanya Amir.

"Aku hanya sedang merasa menyesal, Pak Amir," jawab Vano, jujur.

"Menyesal? Mas Vano menyesali apa?"

Vano terdiam selama beberapa saat ketika Amir mempertanyakan penyesalannya.

"Aku menyesal karena tidak mendengarkan saran Mamaku, Pak Amir. Mamaku pernah menyarankan agar aku mencoba menjalani perjodohan dengan Ziva Adinata, karena saat itu Mamaku sudah mendengar soal Ziva yang tidak pernah dekat dengan pria manapun. Sayangnya, aku malah menolak dan memilih menjalin hubungan dengan Rere sampai akhirnya kudengar Ziva dijodohkan dengan Gani. Sialnya ... Gani malah selingkuh dengan Rere. Sekarang aku hancur dan bahkan tidak yakin kalau anak di dalam kandungan Rere adalah anakku atau bukan akibat perselingkuhan mereka. Jadi kalau sekarang aku menyesal karena tidak mendengarkan saran dari Mamaku untuk mencoba menjalani perjodohan dengan Ziva, Pak Amir tidak perlu kaget. Karena jika aku mendengar saran itu, mungkin saat ini aku tidak perlu merasa sehancur sekarang. Aku mungkin sudah lama menikah dengan Ziva dan sudah benar-benar memiliki anak sendiri," ungkap Vano.

"Sekarang perasaan Mas Vano terhadap Mbak Rere, bagaimana? Apakah Mas Vano masih sayang terhadap Mbak Rere?" Amir ingin tahu.

Vano menggelengkan kepalanya.

"Aku sengaja berniat menghamili Rere agar bisa mendapatkan restu dari Mama untuk menikahinya. Aku sudah tidak punya jalan lain, Pak Amir, karena Mama tidak kunjung memberikan restu padaku dan Rere. Tapi nyatanya di belakangku dia berselingkuh dengan Gani. Jadi kalau pun nanti terbukti bahwa itu adalah anakku, aku hanya akan menikahinya tanpa perasaan seperti yang pernah aku punya sebelumnya untuk dia. Perasaanku sudah hancur, Pak Amir. Perasaanku terhadap Rere sudah hilang tanpa sisa dari dalam sini," Vano menunjuk ke dadanya. "Dan setelah anak itu lahir, aku mungkin akan langsung menceraikan Rere. Aku jelas akan terus terbayang-bayangi dengan perselingkuhannya bersama Gani, jadi aku tidak akan bisa mempertahankan rumah tangga dengan perempuan yang sudah pernah berkhianat kepadaku."

Amir paham dengan kekecewaan yang Vano rasakan. Sudah sejak kecil ia mengenal Vano dan tahu betul bagaimana sifat pria itu. Vano tidak bisa dikecewakan. Karena jika sedikit saja dia merasa kecewa, maka Vano tidak akan pernah mempercayai lagi orang yang telah mengecewakannya.

"Menurut Pak Amir, Ziva dijodohkan dengan Raja atau mereka berdua yang sepakat untuk menikah?" tanya Vano.

"Kalau menurut saya, kemungkinan mereka dijodohkan oleh keluarga masing-masing. Soalnya, entah itu Mas Raja ataupun Mbak Ziva, tampaknya tidak pernah sama sekali terlihat dekat satu sama lain," jawab Amir.

"Berarti masih ada jalan untuk membuat Keluarga Adinata berubah pikiran," gumam Vano.

Amir mengerenyitkan keningnya selama beberapa saat.

"Maksudnya ... Mas Vano mau berusaha meminta dijodohkan dengan Mbak Ziva?"

"Hm ... iya, Pak Amir. Aku berniat demikian dan akan membicarakannya dengan Mamaku sekarang juga."

Vano segera meraih ponsel dan kopinya, lalu mengajak Amir keluar dari ruang kerjanya. Vano tampaknya tidak main-main soal keinginannya kali itu. Dia tampak bersungguh-sungguh dan tidak bisa dihentikan.

* * *

TELUH BELINGWhere stories live. Discover now