18 | Rencana Faisal

921 101 1
                                    

Faisal memarkirkan mobilnya di depan sebuah restoran yang menjual makanan khas Padang. Ia benar-benar berupaya membantu Rian yang saat itu tidak bisa keluar sama sekali dari kantornya. Para karyawan dan karyawati di kantor itu jelas tidak boleh mengalami kelaparan selama diminta menunggu sampai keadaan membaik. Ketika Faisal teringat lagi dengan tim yang dipanggilnya untuk membantu, tentu ia tidak bisa menghindar untuk mengingat Ziva yang benar-benar tidak pernah memberinya kesempatan sama sekali.


"Mbak, bisa bungkus makanannya sebanyak dua ratus lima puluh porsi?" tanya Faisal, ketika akhirnya masuk ke restoran tersebut.

"Dua ratus lima puluh porsi, Pak?" pelayan tersebut tampak ingin memastikan jumlah pesanan Faisal.

"Iya, Mbak. Dua ratus lima puluh porsi yang harus dibungkus," jawab Faisal.

"Bapak mau menu apa saja? Paket nasi ayam lengkap atau paket nasi rendang lengkap?"

"Dua-duanya boleh. Jadikan setengah-setengah kalau bisa, Mbak. Seratus dua puluh lima porsi paket nasi ayam lengkap, lalu seratus dua puluh lima porsinya lagi paket nasi rendang lengkap," putus Faisal.

"Baik, Pak. Sementara saya informasikan dulu pada bagian dapur. Lima menit lagi akan saya kabari pada Bapak apabila ada kekurangan."

"Oke. Kalau begitu saya tunggu di meja nomor empat itu, ya, Mbak."

"Baik, Pak."

Ketika pelayan tadi beranjak menuju ke dapur restoran tersebut, Faisal pun memutuskan menunggu pada meja nomor empat yang sejak tadi sudah ia targetkan. Meja itu terletak di samping sebuah jendela yang mengarah keluar restoran. Dari sana, Faisal bisa melihat laju kendaraan yang berlalu lalang di bagian samping restoran tersebut. Pikirannya pun mulai kembali melayang seperti tadi, mengingat-ingat tentang Ziva.

Ia menyukai Ziva sejak awal bertemu dengan wanita itu beberapa tahun lalu. Awalnya Faisal merasa cukup aneh dengan pekerjaan yang Ziva pilih saat pertama kali mereka bekerja sama. Tapi setelah ia tahu bahwa Ziva memiliki kelebihan yang biasa disebut oleh banyak orang dengan sebutan indigo, ia baru paham mengapa wanita itu memilih bidang pekerjaan tersebut. Wanita itu tidak ingin menyia-nyiakan kelebihannya dan lebih ingin menggunakannya untuk membantu orang lain yang membutuhkan bantuan. Ia suka dengan sifat Ziva yang santai dan tidak berlebihan dalam hal apa pun. Meski memiliki kelebihan, Ziva tidak pernah berupaya memamerkannya tapi justru seringkali berupaya menyimpannya sendiri. Cara Ziva bekerja sama dengan semua anggota timnya membuat Faisal merasa takjub. Ia benar-benar merasa jatuh cinta dengan semua yang dilihatnya pada diri Ziva.

Selama ini dirinya tidak pernah protes ketika Ziva terus saja menghindar darinya ketika sedang menangani sebuah kasus. Ia menganggap hal itu sebagai bagian dari profesionalitas yang Ziva pertahankan. Ia sama sekali tidak pernah berpikir, bahwa Ziva menghindarinya karena memang tidak ingin berada di dekatnya. Ia sadar akan hal itu ketika Ziva sudah memutuskan akan menikah dengan Raja. Ia baru sadar bahwa Ziva memang sengaja selalu menjauh darinya, dan rekan satu timnya pun mendukung hal tersebut secara terselubung. Entah kenapa mereka tampaknya setuju dengan keinginan Ziva yang selalu meminta menjauh dari Faisal.

"Permisi, Pak," tegur pelayan tadi.

Faisal pun menoleh ketika pelayan tadi kembali mendatanginya.

"Iya, Mbak. Ada apa?" tanya Faisal.

"Saat ini yang bisa dibungkus baru tersedia dua ratus bungkus, dan yang kurang hanya tinggal paket nasi ayam lengkap. Kalau Bapak masih bersedia menunggu, karyawan di bagian dapur akan mulai memasak yang sisa lima puluh bungkus lagi. Bagaimana Pak, kira-kira?" tanya pelayan tersebut.

"Iya, Mbak. Saya tunggu saja yang lima puluh bungkus lagi. Silakan buatkan saja," jawab Faisal dengan cepat.

"Baik kalau begitu. Saya akan mulai membuat totalannya ya, Pak."

"Iya, silakan totalkan pesanan saya. Biar saya bisa membayar sekarang juga dan nanti tinggal ambil saja makanannya jika sudah selesai dibungkus semua."

Pelayan tadi pun segera beranjak ke dapur kembali untuk memberi tahu karyawan di bagian dapur. Setelah itu tampak sangat jelas kalau pelayan tadi langsung menuju kasir untuk membuat nota pesanan makanan yang tadi Faisal inginkan. Faisal pun kembali menatap ke arah luar restoran, namun kali itu dirinya menatap keluar sambil menerima panggilan telepon yang masuk.

"Halo, assalamu'alaikum," sapa Faisal.

"Wa'alaikumsalam, Pak Faisal. Ini ada yang tanya tentang Bapak dari bagian penanganan kasus. Katanya, apakah Pak Faisal bisa segera ke kantor sekarang juga? Ada kasus mendesak yang harus Bapak tinjau agar bisa segera ditangani."

"Oh, begitu. Baiklah, saya akan ke kantor sekarang juga. Minta tolong kabari orangnya untuk menunggu di ruangan saya," balas Faisal.

"Baik, Pak Faisal. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Usai menutup telepon, Faisal pun langsung beranjak ke arah meja kasir berada. Pelayan tadi kini menatapnya, karena dirinya belum selesai membuatkan nota pesanan akibat ada pelanggan yang baru saja membayar makanan mereka.

"Saya bayar sekarang ya, Mbak. Soalnya saya harus ke kantor dulu karena ada urusan. Saya lunasi, dan nanti saat saya kembali makanannya tinggal saya ambil saja," ujar Faisal.

"Oh iya, baik Pak. Sebentar ya, Pak."

Faisal pun menunggu beberapa menit, sampai akhirnya pelayan tersebut menyodorkan nota pesanan kepada Faisal.

"Totalnya enam juta delapan ratus tujuh puluh lima ribu, Pak."

Faisal pun segera mengeluarkan uang yang tadi diberikan oleh Rian kepadanya. Ia membayar tagihan pesanan makanan tersebut, lalu pelayan tadi memberinya uang kembalian setelah menghitung semua uang yang Faisal berikan.

"Oke, Mbak. Nanti tinggal saya ambil, ya."

"Iya, Pak. Terima kasih banyak atas pesanan dan kepercayaannya."

Faisal pun segera keluar dari restoran tersebut, lalu memacu mobilnya menuju kantor. Pikirannya tentang Ziva memang sulit untuk dihentikan. Apalagi sekarang ia harus menghadapi kenyataan bahwa Ziva akan segera menikah dengan salah satu anggota di dalam timnya sendiri. Rasanya begitu menyesakkan bagi Faisal, karena dirinya harus kalah langkah sampai sejauh itu.

"Aku benar-benar menginginkan Ziva, tapi entah kenapa hal itu sangatlah sulit untuk terlaksana. Apa sebenarnya kekuranganku, sehingga Ziva tidak pernah menatap ke arahku? Padahal selama ini aku selalu saja memberi tanda bahwa aku memiliki rasa untuknya. Tapi dia tampaknya tidak peduli dan bahkan tidak pernah berusaha untuk menanggapi. Apa yang salah? Apa yang kurang dariku?" gumam Faisal, benar-benar kesal dengan fakta yang ia dapatkan.

Bahkan setelah Faisal tiba di kantornya sekalipun, pikirannya tetap saja melayang memikirkan Ziva. Rasanya begitu sulit bagi Faisal untuk melupakan, meski tahu kalau sudah tidak ada harapan baginya untuk mendekat pada Ziva.

"Apa sebaiknya aku dengan terang-terangan berusaha merebut dia dari Raja? Dengan begitu mungkin Ziva akan paham bahwa aku serius memiliki perasaan untuknya," pikir Faisal, belum ingin menyerah.

* * *

TELUH BELINGWhere stories live. Discover now