Bagian 1

1.2K 143 19
                                    

Suasana pesta pernikahan sangat meriah, tamu berdatangan dari kerabat, sahabat dan para tamu undangan yang di undang secara khusus untuk memeriahkan pesta yang akan di laksanakan setengah jam lagi.

Calon pengantin wanita Delia sudah berdandan cantik mempesona dan senyum selalu merekah di bibirnya.
Wanita mana yang tidak bahagia, sebentar lagi ia akan menikah dengan Dimas, kekasih yang dia cintai.

Mereka sudah berpacaran cukup lama dan hari ini adalah hari yang mereka tunggu-tunggu sejak lama.

"Wah, cantik sekali kamu, Delia."

Pujian datang dari Greta, rekan kerja Delia.

"Bidadari saja kalah."

Maya ikut menimpali ucapan Greta, mereka masih satu divisi dan lumayan akrab.

"Aku deg-degan. Bagaimana penampilanku?" Delia berputar di depan cermin. Dia ingin memastikan bahwa penampilannya benar-benar sudah baik.

"Udah ok, kok," jawab Greta dan di angguki oleh Maya.

"Syukurlah." Delia merasa sedikit lega karena dia percaya, kedua temannya itu, tidak akan mungkin berbohong padanya.

Delia melihat ke arah jam dinding yang terpasang di kamarnya. Ia semakin merasa gugup. "Kurang sepuluh menit lagi," batinnya.

"Mau aku spill, tidak? Aku keluar dulu ya. Aku mau lihat calon pengantin prianya."

Maya bergegas keluar dari kamar Delia, dia ingin menjadi orang pertama yang update di grup kantor tentang calon pengantin pria Delia.

"Sudah tidak sabar ya?" Greta menggoda Delia.

"Apaan sih." Delia tersipu malu hingga wajahnya memerah.

"Ciee malu-malu. Aku keluar dulu." Greta tidak mau ketinggalan update, ia keluar mengikuti Maya.

🌼🌼🌼

Maya dan Greta, mencari di sekeliling para tamu undangan. Namun, mereka tidak melihat Dimas sama sekali.

"Aku sudah berputar-putar mencari Dimas tapi aku tidak melihatnya sama sekali," gumam Maya yang telah lelah mencari.

"Dia pengantin, mungkin berada diantara keluarganya."

"Oh ya, kamu benar Greta. Kenapa kita tidak ke sana sejak tadi."

Maya dan Greta menuju ruang keluarga, mereka ingin mendapatkan foto Dimas. Namun, langkah mereka terhenti saat sudah dekat. Mereka melihat keluarga Dimas terlihat sedang kebingungan.

"Sepertinya ada masalah." Greta berbisik pelan di dekat telinga Maya.

"Aku yakin begitu."

Maya setuju, sepertinya memang sedang ada sesuatu yang gawat saat ini. Akhirnya mereka nekad untuk mengendap-endap lebih dekat supaya bisa mencuri dengar, obrolan yang ada di ruang keluarga.

"Tuan Baron, sekarang sudah waktunya."

Gustav, ayah Delia bertanya dengan nada cemas karena sampai detik ini, ia tidak melihat kehadiran Dimas, calon menantunya.

"Maaf Tuan Gustav. Aku sudah tidak tahu lagi tapi aku harus mengatakannya padamu."

"Ada apa?"

"Dimas kabur."

Baron menundukkan wajahnya, ia merasa malu dan tak enak dengan sahabatnya itu.

"Astaga, lalu apa yang harus kita lakukan sekarang? Tidak mungkin kita batalkan acara pernikahan ini."

Gustav mengusap wajahnya kasar, ia tak mungkin bisa membatalkan acara ini begitu saja. Apalagi ia sudah mengundang banyak orang dari kalangan keluarga serta kolega bisnisnya.

Maya dan Greta yang menguping pembicaraan antara keluarga Delia dan Dimas, merasa kaget serta kasihan secara bersamaan.

"Apa yang harus kita katakan pada Delia?"

Mata Greta berkaca-kaca, ia sungguh tak tega, mengatakan kabar ini pada Delia. Meski cepat atau lambat, Delia pasti akan tahu.

"Entahlah, aku juga tidak tahu."

Sudah jadi ciri khas Maya, saat ia bingung, ia selalu menggigiti kukunya.

"Kita ke kamar Delia sekarang. Kita harus hibur dia."

Maya mengangguk setuju. Mereka memang harus menghibur Delia dan menemaninya, apapun yang terjadi.

🌼🌼🌼

"Bagaimana dan dari mana saja kalian? Apa di bawah sana semuanya baik-baik saja?"

Delia langsung memberondong pertanyaan saat Maya dan Greta kembali ke kamarnya. Ia merasa cemas karena acara pernikahan sudah lewat sepuluh menit tapi ia belum juga dipanggil untuk turun.

"Delia yang sabar, ya."

"Sabar? Ada apa, Ta? Kenapa kamu wajahnya seperti itu?

Delia melihat raut wajah Greta dan Maya yang terlihat bingung dan sedih. Hal itu membuat perasaan Delia tak karuan. Ia khawatir terjadi apa-apa pada Dimas.

"Ehmm, jadi gini, Del." Maya bicara pelan-pelan, ia takut Delia pingsan. "Tadi kami menguping pembicaraan ayah kamu dan ayah Dimas. Kalau...."

"Kalau apa?" Delia tak sabar. "Katakan yang jelas."

"Kalau Dimas belum datang. Kami mendengar dia kabur." Maya meringis, dia khawatir dengan reaksi Delia.

Delia terkejut, tentu saja. Namun, ia berusaha untuk tidak panik. Ia mengangkat gaun pengantin yang ia kenakan lalu berjalan cepat ke arah nakas untuk mengambil ponselnya.

Maya dan Greta sendiri, bingung. Mereka tak tahu harus berbuat apa. Selain menyaksikan Delia yang kini sibuk menelpon, mungkin menelpon Dimas yang tak kunjung diangkat.

Sedangkan di bawah, para tamu undangan sudah mulai berbisik-bisik membicarakan pengantin pria yang tak kunjung datang.

Sungguh, semua ini adalah hal yang sangat memalukan jika pernikahan itu sampai batal. Delia pasti akan menjadi bahan cemoohan.

"Ayah, Ibu, maaf aku terlambat. Pesawat delay. Acara belum selesai, kan?"

"Anakku, Zier." Rosa menghampiri putra keduanya, adik dari Dimas. "Ibu ada satu permintaan untukmu."

"Permintaan apapun, akan Zier kabulkan." Zier merangkul pundak ibunya dan mengecup pipi ibunya.

"Menikahlah dengan calon kakak iparmu, Delia."

"Hah, apa?!"

Zier langsung melepaskan rangkulannya dan menatap ibunya tak percaya. Ia baru saja sampai dan ibunya meminta dirinya untuk menikah dengan Delia. Ia tak mengenal Delia begitu juga sebaliknya.

"Tidak, Sayang. Zier baru lulus sekolah menengah atas. Dia masih harus lanjutkan pendidikannya." Baron tidak setuju dengan permintaan istrinya pada Zier.

"Kita tidak punya pilihan lain. Semua tamu sudah mulai membicarakan kita."

Lena, Gustav dan beberapa keluarga yang lain, mengangguk setuju. Mungkin inilah cara yang terbaik untuk menyelamatkan nama baik mereka semua.

Zier masih mencerna apa yang tengah terjadi. Ia bingung, belum siap tapi ia tidak bisa menolaknya. Nama baik keluarga saat ini tengah dipertaruhkan. Sebagai anak, 0ia memiliki kewajiban untuk menyelamatkannya.

"Zier, Ibu mohon padamu." Rosa meraih tangan Zier dan menggenggamnya erat.

"Zier tak yakin."

"Kamu pasti bisa, kamu harapan kami satu-satunya."

Gustav menepuk-nepuk bahu Zier. Meski ia kecewa. Namun, ia tak ada pilihan lain. Ia hanya bisa berharap Zier adalah pria terbaik untuk putrinya meski usia Zier jauh di bawah Delia.

"Ingat Zier, nama calon istrimu Delia."

"Tapi aku...."

"Kami memohon padamu," ucap semuanya serempak.

"Baiklah." Itulah kata yang bisa Zier ucapkan, ia merasa terpojok dan tak memiliki pilihan lain lagi selain menyetujui pernikahan ini.

🌼🌼🌼
New story and new version from Pengantin Pengganti 050623

Menikahi Calon Kakak Ipar Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora