23. Huru-hara Bendahara

1.8K 228 44
                                    

Tanda centang sudah Talia torehkan di atas kertas yang terdapat nama-nama di sampingnya. Minggu demi minggu Talia rajin melakukannya meskipun beberapa dari mereka ada yang mangkir. Menjadi bendahara di kegiatan KKN bukanlah hal yang mudah. Juga bukan merupakan hal yang baru untuknya.

Teman-temannya pernah ia omelin habis-habisan karena susah sekali membayar uang kas yang telah disepakati sebelumnya. Bukan apa-apa, sebab adanya uang kas tersebut sangat penting bagi keberlangsungan KKN mereka. Memangnya mereka bisa hidup darimana kalau bukan dari uang kas?

“Bayarlah, Man. Lo udah nunggak berapa lama ini. Kalau nggak lo bayar dari sekarang, mau emang tunggakan lo makin banyak?”

Sekarang ini Talia lagi mengekori Hilman yang tengah mengumpulkan botol bekas pakai. Laki-laki itu sama sekali tidak merasa terganggu dengan Talia yang mengikuti setiap pergerakannya di belakang sana.

“Tagih yang lain dulu. Gue mah gampang. Bisa belakangan.”

“Belakangan gundulmu. Ini lo doang yang tunggakannya masih banyak. Yang lain masih bisa ditolerir.”

“Yaudah.”

“Mau bayar, kan?”

Hilman menggeleng, tangannya berhenti bergerak memilah botol bekas. “Yaudah, besok coba lagi.”

“HILMAN, GUE SERIUS!!”

“Gue juga serius kali. Bokek nih gue. Lo kalau mau nalangin kas gue dulu, gapapa sih. Gue malah seneng, hehehe.”

Mendengar penuturan Hilman barusan membuat Talia mencak-mencak di tempatnya berdiri. Sementara Hilman hanya tersenyum tanpa rasa berdosa. Jika yang lain bisa sedikit dengan mudah ditaklukkan oleh perempuan itu, berbeda dengan Hilman. Ia masih punya seribu satu cara agar Talia tak mengejarnya lagi—tentunya bukan dengan opsi membayar kas tersebut.

“Sumpah, ya. Kalau kayak gini mana mau gue dulu jadi bendahara. Bodoamat, gue aduin ke Renan lo nanti.”

“Gapapa, aduin aja. Gue ikhlas lahir batin.”

“HILMAN!!!”

Di sisi lain sudah ada Sella yang tengah menonton sembari memegangi perutnya yang masih terasa perih dengan ditemani Yusuf.

“Lo udah bayar kas belum, Sel?”

“Gue mah rutin. Biar nggak nunggak. Lo, kan, tahu sendiri Talia galak kalau masalah duit. Lo sendiri, udah belum?”

Yusuf menggaruk belakang telinganya yang tak gatal, “Baru beberapa sih. Tapi gapapalah, seenggaknya yang bolong nggak sebanyak kayak punyanya si Hilman.” Laki-laki itu awalnya sangat tertarik dengan jelly yang sudah tinggal setengah. Lalu kini mengalihkan perhatiannya pada sebotol air yang sepertinya bukan air mineral.

“Itu buat apa?”

Gantian, Sella juga beralih menatap botol dalam genggamannya. Air yang semula terasa hangat, perlahan mulai dingin.

“Kompresan buat perut gue. Biasa, cewek.”

“Kasihan ya jadi cewek.”

“Nah, tahu, kan? Makanya lo sebagai cowok jangan sampai nyakitin cewek-cewek. Nggak baik. Gimana pun lo juga lahirnya dari sosok cewek.”

“Iya, sih. Yang bilang gue lahir dari keong juga siapa.”

Dua per-enam bagian dari populasi cowok di posko ini rupanya memiliki kepribadian yang sangat menyebalkan. Untung saja Sella sedang tidak punya tenaga untuk memukul atau sekedar mencubit perut laki-laki itu. Tolong ingatkan Sella untuk menghukumnya di lain waktu nanti.

Hehehe, bercanda kali, Sel. Gitu aja ngambek. Biar happy dikit.”

*****

Dear, KKNDonde viven las historias. Descúbrelo ahora