34. Dana Gebyar KKN

637 89 11
                                    

“Ini beneran dana buat acara gebyar KKN sebanyak ini? Bukannya tiap desa udah dimintai uang? Kenapa masih gede aja?”

Ajeng yang melihat estimasi biaya dari rapat beberapa ketua KKN, memelototkan matanya kaget. Ia tak menyangka bahwa acara akhir KKN akan memakan biaya sebanyak itu. Ini hanya untuk tatanan panggung, belum lagi untuk biaya sewa lainnya.

Memang benar, sedari awal kampus sudah memberikan dana khusus, tapi setelah melakukannya secara langsung, kepalanya jadi ikut terasa pening. Semuanya sungguh diluar perkiraan dan prediksi.

“Kalau bisa diteken, harusnya diteken aja.”

Jendra memakan camilan di samping Ajeng. Di sini sekarang hanya ada dirinya dan Ajeng. Talia yang seharusnya ikut serta malah pergi entah kemana.

“Tapi ini kegedean nggak, sih? Uang kas kita aja kayaknya cuma cukup buat kebutuhan mendesak di posko. Kalau buat ini juga, nggak bakal cukup. Kelompok KKN lain gimana? Mau patungan pribadi juga?”

“Kayaknya enggak deh, Jeng. Mereka uangnya juga pas-pasan banget. Sebelas dua belaslah sama kayak kita. Jadi jalan satu-satunya ya mau nggak mau, harus neken biaya. Dicari yang paling murah.”

Ajeng menghela napas berat. “Seneken-nekennya ya, Jen, tetep bakal susah. Angka segini bikin pusing.”

“Mau gimana dong. Emang kita dapetnya angka segitu.”

“Emang harus banget pake panggung? Kenapa nggak pake balai kecamatan aja? Kan, uang buat sewa panggungnya bisa dipake buat nyewa yang lain. Yang sekiranya kita bener-bener butuhin.”

Yang dibilang oleh Ajeng benar. Tidak ada yang salah. Itu merupakan ide yang bagus. “Berarti nanti kita bikin proposal permohonan tempatnya dong?”

“Iya. Bikin proposal nggak sesusah itu. Daripada kita habis duit banyak. Coba deh lo ngomong sama yang lain juga. Minimal omongin dulu ke Renan pas nanti dia udah balik.”

Jendra menimbang-nimbang pelan. Kalau nanti Renan menyetujui akan lebih mudah untuk menyampaikan ke anggota KKN lainnya, mengingat Renan punya banyak koneksi. Makhlum, Renan anak himpunan. Dia adalah budak kampus.

“Boleh deh, ntar bakal gue omongin. Ide lo bagus, Jeng. Tapi yang gue khawatirin, takut nggak bakal di acc proposal kita.”

“Kayaknya nggak mungkin,” ucap Ajeng mencoba meyakinkan sembari mengangsurkan camilan miliknya kepada Jendra. “Kampus udah pasti ada pembicaraan sebelumnya sama pihak kecamatan sini. KKN kita aja di acc, yang artinya mereka harus bersedia tempatnya bisa kapan aja kita pinjam.”

Kalau dipikir-pikir benar juga. Mereka akan mencoba dulu. Siapa tahu hasilnya sesuai dengan apa yang mereka harapkan.

Tidak ada salahnya untuk mencoba, ‘kan?

Renan duduk di teras rumahnya. Di sebelahnya sudah ada jus alpukat, sudah sejak kedatangannya pagi tadi ia masih belum memegang atau membuka ponsel miliknya. Dilihatnya beberapa notifikasi dari teman-teman atau dari grup himpunan. Salah satunya dari Karin dan Jendra.

Wih, dapet darimana nih anak signal,” celetuk Renan tiba-tiba setelah membuka pesan yang Jendra kirimkan.

Gue habis rapat sama ketua KKN yang lain.

Renan melihat jam tangannya. Alisnya berkerut. Apa kali ini rapatnya dadakan? Kenapa ia masih belum mendapatkan informasi apa-apa sebelum kepulangannya. Ini sudah sore. Berarti kemungkinan besar rapatnya dimulai sejak pagi tadi.

Rapat apaan? Kok gue ga tau?

Status pesan pada ponselnya hanya centang satu. Rupanya Jendra di sana tak mendapat signal sama sekali.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 20 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Dear, KKNWhere stories live. Discover now