24. Letupan Bahagia

1.5K 191 73
                                    

Setelah kejadian dimana tangan Karin yang tak sengaja terkena minyak panas, untungnya tidak ada masalah yang serius, sebab Renan yang dengan sigap memberikan pertolongan pertama.

Di sinilah sekarang keduanya berada, Karin duduk di atas motor milik Renan, tepat berada dalam boncengan laki-laki itu. Sepanjang perjalanan hanya ada pohon serta pencahayaan yang remang, sehingga kesan horror sangat tergambar jelas di sana.

Dalam diamnya Karin sebenarnya takut mengingat yang melewati jalan itu tak ada selain mereka berdua. Sesekali Renan memperhatikan perempuan itu dari balik kaca spion. Renan juga tahu kalau sedari tadi Karin bergerak gelisah.

“Lo laper, nggak? Kita, kan, belum makan malam tadi?” tanya Renan sedikit lebih keras.

“Laper. Tapi masih bisa gue tahan buat makan di posko.”

“Nyari makan aja, ya? Gue juga udah laper banget ini. Kalau iya, gue nyari yang deket-deket sini.”

“Tapi gue nggak bawa uang.”

Tanpa membalas ucapannya, Renan sedikit melajukan motornya lebih cepat. Ia tidak bohong waktu mengatakan kalau ia sedang lapar. Renan juga tak menjamin kalau teman-temannya akan menyisakan sedikit makanan untuk mereka.

Jadi karena tidak mau mengambil resiko, akhirnya Renan memutuskan untuk mengajak Karin mencari makan di luar seperti ini. Toh, tidak masalah jika mereka sedikit pulang lebih malam. Bilang saja kalau puskesmasnya sedang antri.

15 menit kemudian, motor yang membawa keduanya telah sampai pada warung pinggir jalan. Terlihat beberapa pengunjung yang tengah menikmati hidangan yang tersaji di depannya.

“Pak, lele gorengnya dua ya. Satunya minta tolong sambalnya dibanyakin. Sama minumnya teh anget dua.”

Setelah selesai memesan, Renan menyusul untuk duduk di depan Karin. Hawa dingin dibarengi dengan aroma penyetan membuat perut yang sedari tadi meminta untuk diisi jadi semakin keroncongan. Oh ayolah, siapa yang tidak setuju jika menu penyetan ini cocok dinikmati di malam hari.

Keduanya duduk tanpa banyak bicara. Karin yang memilih untuk mengecek kembali ponselnya, sementara Renan memandang sekeliling dengan perasaan yang, “Wahhh, rasanya sudah lama tidak seperti ini.”

“Tangan lo masih sakit?”

Ucapan itu membuat Karin memberhentikan kegiatannya, “Udah nggak begitu perih. Cuma rada sakit aja kalau digerakin.”

“Lain kali hati-hati, jangan sampai sakit lagi.”

“Iya,” jawab Karin singkat karena sesungguhnya ia tidak tahu harus merespon seperti apa.

Kini kembali hening hingga pesanan mereka akhirnya datang. Tanpa menunggu lama Renan langsung mengangsurkan seporsi piring yang sambalnya tidak begitu banyak.

“Ternyata masih suka pedes,” gumam Karin diiringi dengan anggukan kepala.

Meskipun terdengar kecil, tapi Renan masih bisa mendengarnya. “Gue masih sama kayak Renan jaman SMA, kok. Mungkin lo yang banyak berubah.”

Penuturan itu sontak membuat Karin kaget. Bagaimana bisa Renan mengatakan dengan sangat enteng seperti tidak pernah terjadi sesuatu di masa lalu?

“Rin.”

Karin yang awalnya menunduk karena menutupi kegugupan sekarang mulai mendongakkan kepalanya, melihat Renan yang entah kenapa semakin tampan jika malam-malam begini.

“Lo….kenapa jadi diem banget sekarang? Perasaan dulu lo banyak bicara, energik terus selalu senyum. Bukan karena gue, kan?” ujar Renan sembari mengambil alih piring Karin yang terlihat belum disentuh sama sekali. Dengan telaten, Renan memisahkan daging lele itu dari durinya. Hal ini bukan tanpa alasan Renan lakukan, sebab luka bakar yang ada di tangan kanan Karin membuat perempuan itu kesusahan dalam memegang sendok.

Dear, KKNWhere stories live. Discover now