Menyeberang Langit Bersamamu

21 5 0
                                    

Gelapnya antariksa menyambutku ketika aku mengucapkan "selamat tinggal" kepada planet rumahku. Bulatan biru raksasa berpadu hijau dan putihnya awan bisa aku lihat ketika menoleh ke belakang. Pesawatku terbang di luar area atmosfer, bersiap untuk menyeberang langit.

"Saatnya menjelajahi dunia baru!"

Semenjak dirilisnya peta temuan Daerah Belum Terjelajah, hati orang-orang penasaran tergerak untuk mempertaruhkan hidupnya supaya bisa menginjakkan kaki di dunia-dunia temuan. Dan di sinilah aku, dalam pesawat antariksa yang hendak membelah kehampaan.

Hal pertama yang perlu dilakukan seorang penjelajah antariksa seperti diriku adalah menentukan arah. Ke mana aku akan pergi? Perjalanan antariksa bukanlah hal sembarangan yang bisa dilakukan anak 17 tahun. Kalau ada pun, anak itu pasti sudah sangat terlatih.

Bicara soal umur, usiaku memang baru akan menginjak kepala dua tahun depan.

Farchoiru, sebuah planet yang katanya punya alam asri. Aku melihat gambarannya di layar. Ada kabar, pasukan Serikat Sistem Independen yang menjajah planet itu telah dipukul mundur. Artinya, aku bisa menjelajah dunia itu dengan aman.

Ngomong-ngomong tentang Serikat Sistem Independen, atau singkatnya Serikat, mereka adalah kelompok besar antarbintang yang tak berlaku adil bagi peradaban tersembunyi. Mereka menawarkan kemerdekaan, tetapi keinginan rakusnya mendapat sumber daya tak bisa selamanya tersembunyi di balik topeng mereka. Jika peradaban tersembunyi yang pemahaman teknologinya lebih rendah itu melawan, mereka akan habis.

Kejam, memang.

Begitulah yang terjadi di Galaksi ini beberapa tahun terakhir. Beruntung sekarang ketegangan itu mereda, dan aku punya kesempatan untuk menjelajah tempat tersembunyi dengan bebasnya.

"Baiklah. Farchoiru akan menjadi tujuanku selanjutnya!"

Dengan semangatnya, aku menekan tombol persiapan penerbangan cahaya dan mengatur Farchoiru sebagai destinasi. Sungguh, bagi penjelajah sepertiku, pemandangan ruang cahaya adalah sesuatu yang paling aku sukai.

Pesawatku yang tadinya terbang dengan kecepatan konstan pun mempercepat dirinya. Membuatnya berada di kondisi melebihi kecepatan cahaya. Membuat sekitarnya menjadi terowongan menuju sistem bintang yang jauh di sana. Membuat bintik-bintik bercahaya memanjang layaknya lampu neon.

Entah sampai kapan aku bisa menikmati pemandangan ini. Yang pasti, saat ini adalah waktuku untuk menaklukkan sang Galaksi.

Aku ingin menapakkan kakiku di tempat yang aku tak ketahui.

Lima menit menuju tujuan.

Aku penasaran dengan tempat itu. Farchoiru, nama yang unik plus asing. Entah siapa yang memberi nama. Jika tempat itu punya penduduk, aku ingin menjabat tangan salah satunya, atau bahkan mengajaknya terbang di angkasa lepas.

Sepuluh detik menuju tujuan.

Perangkat asisten pilot mulai menghitung mundur. Lima, empat, tiga, dua, satu! Penampakan si planet biru langsung bisa aku lihat. Besar. Sangat mirip dengan planet rumahku, Hoummi.

Aku menyeberang langit.

Aku terbang merendah. Sesaat setelah aku membelah lapisan awan, pemandangan berubah menjadi seakan baru terbang di atas surga. Betul, indahnya permukaan planet ini benar-benar membuatku tak ingin berkedip. Terutama jajaran taumbuhan berdaun merah-oranye, layaknya pemandangan musim gugur yang abadi.

Aku memutuskan untuk mendarat di daratan merah. Seketika aku turun dari pesawat kecilku -- yang memang cuma muat satu orang pilot dan satu penumpang. Aku segera melepas helm pelindungku tanpa takut udara sekitar membuatku pingsan karena racun. Benar saja, udaranya tidak beracun. Angin yang dingin terbang melalui hidung dan membisiki telingaku dengan lembut.

Deep SpaceWhere stories live. Discover now