04 | Lengkap Bukan Berarti Cemara

165 18 11
                                    

Bismillah dulu biar berkah hehe

.
.
.

"Bi, kopi aku mana?" Pemuda dengan kaos kuning itu tampak turun dari tangga, berbelok menuju meja makan dengan sedikit menguap. Dia juga sempat menggaruk kepalanya seolah baru saja bangun tidur.

Yang ditanya pun sedang berjalan mendekat. Satu tangannya tampak memegang gelas minuman berwarna orange. "Gak dibuatin, Mas. Tadi sebelum nyonya keluar udah pesan ke saya jangan sampe Mas minum kopi. Sebagai gantinya saya disuruh buatin jus wortel ini," jawab bibi yang kemudian menyodorkan gelas tadi pada pemuda yang jauh lebih muda darinya itu.

"Lagi?" Kusagra Biantara nama lengkapnya. Walau keliatan sebal, ia tetap menerima minuman yang telah dibuatkan oleh wanita tua yang ia panggil dengan sebutan bibi itu. "Mama kenapa sih, Bi? Perut aku gak kosong jadi gak perlu khawatir bakalan kambuh lagi gara-gara kopi. Aneh."

Pundak bibi bergidik menanggapi, tanda bahwa ia pun tak tau alasan pasti mengapa si nyonya rumah melarang agar anak pertama di keluarga Biantara itu mengonsumsi kopi sejak bermingu-minggu yang lalu. Mungkin memang ada hubungannya dengan gerd yang diderita Kusagra, atau ada alasan medis lain yang baru diketahui oleh sang ibu. 

Ini hampir sama dengan nasib adik Kusagra yaitu Chaidar Biantara. Jika boleh dibandingkan, lebih parah sang adik karena bukan hanya makanan yang tidak boleh sembarangan, bahkan melakukan sesuatu yang ia senangi pun selalu diikuti kata tidak boleh.

"Memangnya mami ke mana, Bi?" Bungsu tiba-tiba masuk ke percakapan. Pemuda yang keliatan memeluk botol air tupperware biru mentereng itu mendekat ke sisi kiri kakak laki-lakinya dengan tenang. Melepaskan tas punggungnya bersama dua buah buku cetak yang berbau bisnis dan ekonomi miliknya ke meja makan. Tampaknya ia baru pulang dari kampus setelah menyelesaikan dua mata kuliah paginya hari ini.

"Ibu-ibu sosialita biasanya ke mana, Cil? Arisan palingan," sahut Kusagra ketus yang sudah mengambil tempat di meja makan, lantas meneguk jus wortel yang diberikan bibi padanya dalam tiga kali teguk.

"Gue nanya ke bibi bukan ke lu, Setan!" sergah Chaidar di sela-sela kegiatan kakaknya. "Dan bisa stop manggil gue bocil? Gue punya nama. Chaidar, nama gue Chaidar," tegas pemuda itu dengan ekspresi tersinggung. Nyaris ingin melempar dua buku mata kuliahnya itu ke wajah sang kakak. Namun kenyataannya, ia memilih mengumpulkan semua barang-barangnya dan segera beranjak dari tempat itu menuju kamar.

Kusagra mengernyit saat meletakkan gelasnya setelah tandas. "Nama doang sensi amat," sindirnya sedikit meninggikan suara dan menatap Chaidar yang hendak menaiki tangga di sana.

Spontan membuat langkah Chaidar berhenti. Perkataan Kusagra berhasil membuatnya mengurungkan niat ke kamar. Dengan tersulut, ia menghampiri Kusagra. "Nama doang lo bilang?" desisnya terdengar tidak terima. "Minimal gak usah berkomentar kalo gak tau apa-apa. Lo cuma bikin gue muak."

"Apa?" Tangan Kusagra mengepal. Chaidar muak katanya? "Kamu kira aku enggak muak sama kamu? Aku juga muak."

Merasa suasana di antara keduanya makin mengeruh, bibi mencoba angkat bicara dan melerai. "Mas Sagra, udah. Jangan bertengkar terus, gak baik," kata bibi yang langsung berdiri memisahkan keduanya. Kemudian menoleh pada Chaidar. "Kalau saudara itu harusnya saling menyayangi toh, Mas?"

Chaidar membuang muka, enggan menjawab.

"Senggaknya kalo ngobrol sama aku, dia bisa lebih sopanlah, Bi. Heran aku, tiap hari ada aja yang bikin dia marah ke aku," lanjut Kusagra lagi.

"Oh, mau dihargai, tapi gak pernah nyoba buat ngehargain balik," sinis Chaidar menatap Kusagra tak mau kalah. "Sadar diri! Udah lakuian apa aja lo sebagai kakak?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 10, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kontrakan 7 Pemimpi [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang