Bab 2: Membentuk Mimpi

38 8 0
                                    

Now and forever you are still the one.

.

.

Sejak pertama kali bertemu, Nanti dan Senja sering menghabiskan waktu bersama di toko buku. Mereka punya prinsip yang sama, baca komik Naruto boleh saja ilegal, tapi membeli komik asli adalah kewajiban.

Nanti sedang memeriksa rak, sedangkan Senja antusias mengikutinya. Menyusuri jejeran komik yang tersusun rapi di atas rak lantai. Namun, semenit kemudian bibirnya mengerucut. Badannya memutar menghadap Senja untuk menyampaikan kekecewaannya. "Kayaknya belum terbit deh."

Senja tersenyum kecil melihat wajah memelas itu. "Nggak apa-apa, nanti juga bakal terbit. Mau ke tempat penyewaan komik nggak? Aku mau rekomenin komik lawas yang seru."

Apa pun yang Senja rekomendasikan, Nanti akan selalu mengiyakan. Ia ingin lebih tahu tentang Senja dari hal-hal kecil seperti ini.

.

.

Di tempat penyewaan komik, Senja menunjukkan komik yang sudah difavoritkannya sejak dulu.

Wajah Nanti jadi secerah mentari kala menerima komik itu. "Oh, Slam Dunk!"

"Kamu tahu?"

Nanti mengangguk kecil. "Tapi belum pernah baca. Dulu waktu SMP pernah tayang di teve, kan?"

Senja kemudian mengambil empat komik dengan jilid berurutan. "Coba baca deh. Kamu pasti suka. Aku yang bayarin sewanya." Karena dirinya yang merekomendasikan, jadi sebaiknya ia yang membayar.

Tentu saja Nanti tidak menolaknya. Setelah Naruto, Slam Dunk akan menjadi obrolan asyik terbaru dirinya bersama Senja. Kalau sedang membicarakan anime atau komik Jepang, dunia sudah serasa jadi milik berdua.

.

.

Sesampai di rumah, Nanti langsung lari ke kamar dan mengunci pintu rapat-rapat. Tidak ia izinkan siapapun masuk mengganggu konsentrasinya dalam meresapi cerita Slam Dunk yang difavoritkan sama Senja.

Dibukanya halaman pertama. Nanti merasa komik ini memang cowok banget sama seperti Naruto. Ini menjadi komik bertema olahraga pertama yang diikutinya. Membaca genre baru, melahirkan pengalaman baru.

Nanti lanjut membaca ke halaman-halaman berikutnya. Sepanjang malam itu ia tidak bisa berhenti tertawa. Ingin rasanya meng-SMS Senja untuk meluapkan kesukaannya akan Slam Dunk dan menertawakan tingkah gila Hanamichi Sakuragi demi mendapatkan cinta pujaan hatinya. Namun, Nanti menahan diri karena ia ingin memperlihatkan langsung pada Senja bahwa hasil dari rekomendasinya itu mujarab betul. Bukan hanya lewat kata, tapi juga lewat ekspresi dan mata.

Sampai di tahun 2022 yang akan datang, Nanti tidak akan melupakan Slam Dunk. Komik Jepang itu nanti difilmkan di tahun 2023, tapi Nanti tidak akan pernah sempat menontonnya karena berpulang lebih dulu.

.

.

Pagi itu Nanti menyerahkan seluruh komik Slam Dunk yang dibacanya pada Senja. Kantin menjadi tempat mereka berjumpa begitu ramai, jadi semakin ramai dengan pekikan Nanti yang terlampau semangat. "Aku mau dong pinjam lanjutannya!" Ia sudah siap mengetahui betapa ajaibnya karakter bernama Hanamichi Sakuragi.

Senja gagal menahan tawanya. "Udah kelar? Serius?"

Nanti menunjukkan jari tangannya yang membentuk angka 3, "Tiga rius! Jangan remehin kekuatan otaku!" Ia duduk di depan cowok yang lagi nyengir terus itu. "Gila sih Hanamichi Sakuragi, cuma gara-gara cewek gabung ke tim basket. Padahal dia belum pernah main. Tapi dari sana dia kayak punya tujuan hidup."

Senja mewajarkan sikap Hanamichi. "Cowok emang gitu kok. Bisa antuasias sama hal yang disukai ceweknya. Terinspirasi dari gebetannya itu mungkin banget."

Nanti tertawa kecil karena baru tahu fakta itu. "Gitu ya? Kalau aku suka nulis nggak terinspirasi dari siapa-siapa. Suka karena senang baca buku aja."

Ada hal baru tentang Nanti yang Senja ingin lebih tahu. "Kamu mau jadi penulis?"

Nanti mengangguk penuh semangat. Ia ingin Senja mengetahui cita-cita besarnya. "Mau jadi penulis novel dan penulis skenario film."

Melihat anggukan semangat dari Nanti, Senja pun menunjukkan dukungannya. "Wah, keren banget kamu udah punya mimpi. Aku jadi ingin punya juga." Ia seketika terbebani dengan kata mimpi. Kalau Nanti sudah menemukannya, ia juga jadi ingin menemukannya. Namun, bagaimana caranya ia menentukan mimpi? Masa mimpi jadi Hanamichi Sakuragi?

"Cari aja dari sekarang." Nanti berpikir sejenak, dan langsung menyampaikan idenya. "Dimulai dari yang kamu suka aja." Ia juga ingin Senja segera menemukan mimpinya.

Senyuman Senja kian melebar. Hatinya bergejolak, ikut bersemangat karena Nanti sudah memilih jalannya ke depan. Rasanya ini waktu yang tepat untuk menentukan jalannya juga. "Aku suka nonton film. Cocoknya aku jadi apa ya?"

Ini sih makanan Nanti sehari-hari. Ia sudah tahu banyak tentang dunia perfilman. "Banyak! Sutradara, produser, penulis, atau aktor. Ah, jadi aktor aja! Kamu kan ganteng, pasti bakal jadi magnet tersendiri."

Senja mematung dipuji ganteng terang-terangan sama Nanti. Jarang-jarang ia mendapatkannya. Satu-satunya sosok yang tidak pernah lelah mengucapkan pujian itu hanya Ibu.

Menyadari Senja yang ekspresinya jadi seperti udang rebus, Nanti memejamkan mata rapat-rapat saking malunya, lalu berbisik. "Duh, frontal banget." Ia memukul pelan dahinya sendiri.

Namun, Senja tetap mendengar ucapan Nanti. Tawanya pun lepas. "Harusnya aku yang salah tingkah, kenapa jadi kamu?"

Nanti semakin grogi saja digoda seperti itu. Ia mendorong Senja kuat-kuat, sampai posisi duduk cowok itu berubah. "Ih, aku nggak salah tingkah!" Kalau sudah di depan gebetan seperti ini, cara tepat menyelesaikan sinyal jambu merah adalah berbohong!

Senja tertawa lepas karena sikap Nanti yang menggemaskan. Namun, ia tahu harus menahan diri untuk tidak menggoda Nanti lebih lama. Bisa-bisa dia marah. Daripada semakin aneh tingkah laku mereka, Senja bergegas mengambil catatan kecil dan pulpen dari tas. "Katanya kalau mimpi yang dicatat itu bisa jadi kenyataan. Kita tulis yuk." Tangannya mulai menari di atas kertas, kata-kata berupa mimpi bermunculan. "Mimpiku jadi pemain film peraih Piala Citra, bikin film sama kamu, sama liburan ke Jepang!"

Sampai Nanti menggebu-gebu melihat Senja antusias menggerakkan pulpennya. Padahal yang namanya mimpi belum tentu jadi kenyataan. Namun, kenapa melihat Senja seperti itu jadi mengasyikkan?

Kertas itu cepat-cepat Senja pindahkan ke Nanti.

Senyuman Nanti kembali melebar. Gilirannya menggerakkan pulpen itu di kertasnya. "Jadi penulis novel yang terkenal kayak J.K. Rowling, jadi penulis skenario yang filmnya sampai ke Amerika, sama liburan ke Jepang juga!"

Jepang. Mereka berdua begitu familier dengan negara itu, tapi belum pernah menginjakkan kaki ke sana.

"Yuk, liburan bareng ke Jepang! Nabung dari sekarang," ujar Senja yang semringah.

"Yuk!" Tentu saja Nanti mengiyakan. Ia tidak sabar sampai hari istimewa liburan ke Jepang bersama Senja tiba.

Namun, setelah setahun berlalu, dua tahun, tiga tahun, sampai Nanti sudah meninggal pun, dirinya dan Senja tidak pernah ke Jepang. Mimpi yang mereka bentuk bersama, sirna dalam sekejap ketika ada orang lain yang mengisi hati Senja. Berubah jadi angin lalu. Akhirnya Nanti lebih memilih berangkat ke Jepang bersama temannya yang lain.

Senja terlalu banyak omong dan Nanti terlalu banyak berharap.

Sama Kamu Sekali LagiWhere stories live. Discover now