2🌵 Melihat Kembali

596 48 5
                                    

===

Ketika menu buka puasa telah terhidang di meja makan namun kurang setengah jam lagi adzan Maghrib berkumandang. Afifah memilih menyingkir sendirian ke ruang keluarga tuk membalas satu persatu pesan kerabatnya karena keterbatasan waktu dan jarak hingga mengharuskannya tetap menjaga silaturahmi walau via daring.

Sembari menunggu balasan, Afifah pindah scroll sosial media. Beberapa postingan teman zaman nyantri dan saudara pun langsung muncul menghiasi beranda.

Ngaos² Abah, batinnya melihat caption reel Gus Yusuf ngaji pagi tadi di ndalem Abah Kyai bersama puluhan santri lawas. 

Senyum tipis terukir disela-sela fokusnya menyimak kajian Abah, namun tak bertahan lama hingga suatu objek berhasil menyita semua perhatiannya.

"Mas–?" cengonya lirih. "Kok?"

Sudah lama sekali sejak terakhir kali Afifah melihatnya menampakkan diri, mungkin 4 tahun lalu tepat beberapa detik sebelum kesadarannya hilang dipangkuan Gus Ibrahim waktu selesainya akad terucap.

"Ya Allah ...,"

Reel yang seharusnya terus berjalan itu ia pause, bahkan genggamannya pada hp berubah menjadi sangat erat. Atensi hanya untuk dia yang tampak sibuk memaknai kitab tanpa ekspresi.

Apa kabar?

Apakah selama ini kamu baik-baik saja?

Entah apa saja yang telah dia alami sejauh ini. Namun kembalinya kini terlihat begitu urakan. Rambut dibiarkan memanjang, brewok menghiasi setiap sisi rahang, siratan lesu tak ketinggalan menghiasi wajahnya.

Ingat betul Afifah tentang bagaimana dulu pria itu sangat menjaga penampilan.

Secepat ini kah waktu mengikis semuanya?

"Dik!"

"Adik!"

"Assalamualaikum hey!"

"A-a eh!?" Afifah gelagapan saat tangan lembut Gus Ibrahim tiba-tiba mengelus kepalanya. Suaminya datang, ponsel pun buru-buru ia matikan. "D-dalem, Mas. Wa-waalaikumussalam. P-pripun?"

"Kok gugup? Njenengan kenapa hayo?" tanya Gus Ibrahim seraya menyandingi Afifah di sofa.

Afifah menggeleng cepat. "Ee g-gak papa. A-ada apa mas?" Wajah ponsel pun ia telungkupkan ke sisi tubuhnya yang lain.

"Ini, njenengan kan lebih paham urusan perempuan. Alhamdulillah tahun ini ada rezeki lagi buat THR mbak pondok," Gus Ibrahim menyodorkan amplop coklat tebal ke ibunda Ayluf. "Minta bantuannya seperti biasa nggih?"

"Alhamdulillah," balas Afifah sambil mengangguk yang menyanggupi.

Memang sudah adat ahlu Albasyari khususnya pesantren Kalapaking tiap tahun bagi-bagi THR sandangan ke seluruh santri ataupun warga sekitar.


"Nanti urusan kang pondok biar kulo pasrahkan ke Pak Wahab," ia tersenyum sambil meraih kedua tangan istrinya. "Ayluf mana ya? Kok gak keliatan?" Gus Ibrahim baru sadar anaknya tak ada di sini.

Hanya ada dirinya dan Afifah saja.

"Di depan sama mbak Asri, tadi liat penjual sosis bakar, kepingin dia,"

Gus Ibrahim membulatkan bibir lalu berpendapat. "Sosis zaman sekarang aneh-aneh gak sih Dik menurut njenengan? Mantappan dulu kan nggih? Menang di brand doang, urusan rasa  gak sesuai,"

Takkan Usai (NK 2)Onde histórias criam vida. Descubra agora