33. Day 24.

551 86 7
                                    

Pada satu sore, ketika Iris baru saja merebahkan tubuhnya di atas hamparan pasir, seseorang tiba-tiba duduk di sebelahnya, dia dengan kurang ajarnya menutup wajah cantik itu dengan bungkus snack yang entah didapatkan dari mana.

Iris kontan duduk sambil mulutnya yang tak berhenti mengumpat. Kebiasaan tidak baik ini memang belum sepenuhnya ia hilang.

"Mulutnya dijaga mbak, hati-hati sih, takut didengar ratu pantai, serem kalau diajak ke sana," komentar cowok itu.

Sang gadis merapatkan bibirnya, lantas membuang napas kasar.
"Kok ada di sini?" tanyanya
beberapa saat kemudian.

"Pantai kan tempat umum, aneh emang kalau gue ada yang ke sini? Bukan pulau pribadi juga, kan?" Jingga balik bertanya.

Iris mengangguk, dia membiarkan Jingga yang sepertinya sedang galau.

"Kita ketemu lagi, kebetulan apa jodoh ya?" cowok itu bergumam, tidak lama tertawa sendiri mendengar ucapannya.
"Gue bercanda kali, masa mau nikung temen sendiri?" Jingga kembali tertawa.

Tawa yang tidak terdengar bahagia. Meskipun Jingga seperti buaya darat, tapi sebenarnya dia hanya berusaha menghibur dirinya sendiri.

Tidak mendapatkan respon apapun dari Iris membuatnya merasa canggung, cowok itu mengusap rambutnya, kemudian mengeluarkan bungkus rokok serta pemantik dari saku celana.

Agak susah menyalakan api di pantai yang banyak angin, tapi setelah mencobanya beberapa kali, akhirnya sebatang rokok itu berhasil dia nyalakan.

Menyesap gulungan tembakau tersebut dengan khidmat, Jingga melirik Iris yang memperhatikannya sembari mengeluarkan asapnya ke udara.
Berharap masalahnya ikut terbang bersama asap yang melebur dengan angin.

"Mau?" Cowok itu menyodorkan sebungkus rokok ke hadapan Iris.

Lagi-lagi sang gadis tidak menjawab, tawaran itu dibalas tatapan sinis yang mampu membuat Jingga tersenyum kaku. "Oh— nggak smoking ya? Sorry," ujarnya.

"Gue perokok," kata Iris sembari melirik rokok yang terselip di antara  jemari Jingga. "Perokok pasif," lanjutnya, tersemat sindiran di sana.

Beruntung Jingga cukup peka, cowok itu menyengir dan akhirnya mematikan rokoknya.
"Desas-desus orang tentang lo banyak hoax nya ternyata. Lo nggak seburuk cover dan yang orang ngomong."

Wajah datar Iris menyeringai samar. "Gue emang seburuk itu.".

"Gue rasa nggak tuh, walaupun belum kenal, tapi—"

"Gue open BO," potong Iris.

Jingga tergelak. "Lo open jasa sewa pacar, bukan booking yang anget-anget."

"Mama gue pelacur."

"Mama, bukan lo, Kan?"

"Gue anak nggak jelas yang sampai sekarang bahkan nggak tahu siapa bapaknya."

Cowok bermata sipit itu menatap lekat Iris. "Terus hubungannya? Anak nggak pernah salah, anak nggak bisa milih akan terlahir di keluarga yang kondisinya kayak gimana."

Iris membuang muka. Gadis itu mengeluarkan satu persatu rokok Jingga dan mematahkannya menjadi kecil-kecil.

"Rokok gue lo apain?!" Jingga mendelik dengan wajah nelangsa.

"Gue nggak tahu kenapa orang suka banget sama benda sialan ini, termasuk Hera," monolognya.

"Itu mahal astaga!" Jingga uring-uringan, rambutnya sudah acak-acakan tidak karuan. "Gue baru kebeli satu bungkus, biasanya belinya batangan karena duit gue pas-pasan! Lo enak banget tinggal patahin!"

Paket 30 Hari(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang