[4] Mempertimbangkan Segala Hal

426 67 0
                                    


Mungkin ada beberapa berita tentang Gaza, Palestina, yang tidak update. Karena cerita ini mengambil kejadian di tahun 2018-2020 dan sengaja tidak diubah.

Untuk pembaca yang kurang sreg dengan isu konflik kemanusiaan seperti ini, mohon maaf ya. Tulisan ini tidak bisa dipendam seumur hidup, aku merasa kisah ini harus dipublikasikan. Tapi, setelah pertengahan cerita, kalian pasti tahu fokus cerita ini tertuju ke mana dan pada siapa.

Terima kasih untuk perhatiannya.

Love,

Re.



***



"Nes, kenapa sih kalau gue-chat nggak pernah balas?" tanya Rumi dengan mimik kesal. Dia teman sekantorku yang masih iseng godain semua perempuan, baik yang masih single maupun sudah di-tag sama orang.

Aku menoleh malas. "Chat lo banyak yang nggak penting!"

Seseorang menertawakan ucapanku, sekaligus mengejek harga diri Rumi.

"Jadi, soal kerjaan doang yang mau lo balas?" Rumi menyinggungku.

"Ya, iya dong. Nanya sudah makan atau belum itu nggak penting tahu nggak? Simple aja, manusia 'kan punya insting. Kalau lapar ya makan! Tinggal pesan online, nanti juga nyampe," jelasku berapi-api.

"Maksud gue 'kan perhatian, Nes." Elaknya.

"Sori, bukan apa-apa. Tapi, gue bukan seseorang yang kurang perhatian lho ya!" Aku balas membantah.

"Hehehe ... lo ditolak tuh!" kata Mbak Hana, yang sempat menertawakan ucapanku. Mbak Hana seorang istri dan ibu superbaik, mother-able kalau istilah sekarang. Usinya sudah di atas 30 tahun lebih sedikit, teman terdekatku di kantor.

Rumi tak menghiraukan ucapan Mbak Hana yang sedang sibuk mondar-mandir mengambil data dari rak tinggi di sebelah meja kami. Rumi kembali menatapku curiga. "Kanes jalan sama siapa kemarin? Ke mal 'kan?"

"Mau tahu saja urusan orang!" Aku tetap menatap komputer di depan, banyak urusan.

Rumi seperti tidak punya urat malu lagi, terus bertanya macam-macam. "Kenapa chat yang itu juga nggak lo balas sih, Nes. Sombong bener kalau sudah ketemu ayangnya."

Mbak Hana yang kebetulan lewat lagi ikut bertanya, "Ayang? Siapa sih?"

Aku mendesah pelan, mengurai kekusutan sepagi ini. "Rehan, Mbak. Rumi tuh salah paham aja!" balasku sambil melirik Rumi dengan napas tertahan, gedeg.

"Oke lho orangnya ... eh, gue kira cowok lo masih di Timur Tengah, Nes. Balik kapan?" Rumi berdiri di samping mejaku, terlihat penasaran.

"Bukan dia. Rehan itu sahabatnya pacar gue." Kukibaskan tangan sekali, pertanda tidak sedang ingin diganggu. Tapi Rumi memang bandel banget, kupingnya tebal dan mukanya tembok. Dia tetap tidak beranjak dari mejaku.

"Widih ... main api nih kayaknya. Pacar nggak ada, malah jalan sama yang lain." Ia menyindir keras.

Mbak Hana ikut tertawa, dia tahu siapa Rehan, hanya sekadar teman dekatku.

"Salah ya? Kan, cuma teman." Aku melempar kertas bekas yang baru kurobek menjadi dua bagian. "Lagian selingkuh itu dosa!"

"Eh, Non, jangan lupa ya! Pacaran saja sudah termasuk dosa!" Mbak Hana ikut mengomentariku. Rumi tertawa terbahak-bahak karena merasa menang. Aku sungguh tertohok sampai dadaku terasa ngilu.

Lebih Dari ApapunWhere stories live. Discover now