[25] Aku Tak Mau Sendiri

381 63 6
                                    

Hampir aja lupa update :D
Yuk, vote dulu!




Tak akan aku sia-siakan hidup hanya untuk menangisi cinta yang bukan cinta sejati.







Seumur-umur, aku tidak pernah membenci hari Senin. Se-hectic apapun hari Senin, aku tidak pernah mengatakan "I hate Monday!" sekalipun hanya dalam hati. Karena aku lahir di hari itu, aku mencintai hari lahirku. Tapi kali ini aku tidak tahu. Senin ini rasanya berat luar biasa, pedih, gemuruh di luar tapi sunyi dalam dada. Aku bahkan tidak tahu apakah aku masih ingin hidup sampai Senin pekan depan atau mati saja. Ya Tuhan, maafkan isi kepalaku ini. Benar-benar diriku ini berada dalam titik hopeless.

Rasanya, tidak ada semangat secuil pun dalam diriku.

Seperti tidak punya tujuan.

Seolah tidak memiliki tempat pulang.

Sebab, orang yang kuanggap sebagai rumah nyatanya telah pergi jauh sekali. Dia tidak ingin di sini, tidak bisa berada di sisiku.

"Lo sakit, Nes. Muka pucet banget kayak mayat tahu nggak!" ucap Mbak Hana ketika melihatku terbengong di meja kerja.

Kasar. Tapi memang itu yang sedang terjadi. Boro-boro teringat dandan, mau makan sehari sekali saja sudah untung. Tinggal tunggu tanggal mainnya saja, magku paling-paling kambuh karena asam lambung mulai naik.

"Pulang saja, Nes. Atau lo cek ke dokter. Takutnya parah sakit lo ini." Mbak Hana menyentuh keninngku, aku beringsut mundur. "Anget, Nes. Nanti pingsan lagi."

"Pada berlebihan deh. Gue baik kok," jawabku lemah.

Mbak Hana masih menatapku dengan kecurigaan yang berlebihan, kurasa dia bisa menebak situasiku saat ini. Perlahan, dia mencondongkan tubuhnya ke kursiku, berbisik pelan di telinga. "Lo nggak gagal married 'kan sama dokter itu?"

Aku menatapnya tak percaya, lalu tersenyum getir, tetapi perlahan kepalaku mengangguk. Mbak Hana sangat shock. Menatapku iba dan hati-hati memelukku. Saat berada dalam pelukannya, aku tidak menangis sama sekali. Air mataku sudah habis karena beberapa hari lalu.

Inikah yang namanya sakit tak berdarah? Bahkan, aku sudah tidak bisa mengeluarkan air mata lagi saat mengingat dia. Akhirnya aku memutuskan pulang dan pergi ke klinik, di sana aku diberi banyak vitamin yang belum tentu aku masukkan ke mulut.

Saat menebus resep ke apoteknya, aku malah berharap kalau perawat salah meresepkan obat padaku, harusnya dia memberikan racun yang membuat nyawaku hilang dalam sekali tenggak. Selesai.


***

Lelah menghadapi kemacetan kota Jakarta sendirian.

Lelah hidup dengan kehampaan yang muncul akibat rasa sakit ini.

Lelah membayangkan hari esok yang masih panjang.

Aku tidak tahu harus melangkahkan kaki ini ke mana lagi.

Lelah.

Setelah bertempur dengan ratusan kendaraan lain, akhirnya kakiku bisa menginjak area apartemenku sendiri. Saat aku baru turun dari mobil, Rehan tiba-tiba saja muncul di parkiran. Ia menatapku sedih bercampur ... tak tahulah. Yang jelas aku benci tatapan itu, kenapa semua orang harus kasihan padaku? Membuatku merasa benar-benar merana!

Saat ini, tubuhku sedang lemah luar biasa. Ingin segera berbaring di atas tempat tidur selama puluhan jam.

"Mau apa?" tanyaku saat dia berdiri di depanku.

"Nes." Sorot matanya terlihat cemas dan tak terbaca lagi. "Sebentar saja," pintanya.

"Apa?"

Rehan terus menatapku, seolah ingin mengatakan sesuatu yang penting. Namun, yang keluar dari bibirnya malah sesuatu yang bosan aku dengar. "Are you okay?"

Lebih Dari ApapunWhere stories live. Discover now