[21] Kita Harus Memilih

371 65 11
                                    

Tarik napas dalam-dalam sebelum baca part ini.

Peringatan: jangan nangis sembarangan!



*Buat yang pengen ceritanya jelas dan utuh, disarankan beli part 20 di KK ya. Karena ini saling terkait. Penting.



BAB 21



Lima pekan lagi aku dan Ian akan menjadi sepasang manusia yang paling dan paling bahagia di dunia ini walau hanya dalam hitungan jam saja, ketika duduk di atas pelaminan dan disaksikan banyak tamu undangan. Terspesial, saat Ian menjabat tangan Papa demi mengucapkan ijab qobul. Dan setelah itu kami akan hidup bersama, melewati suka dan duka dalam janji setia.

Aku tersenyum saat membayangkan hari itu tiba, jantungku berdebar bahagia.

Ya, setiap hari aku berhitung, sudah ada aplikasi kalender terinstal dalam kepalaku. Perasaanku tumpah ruah, semua menjadi satu. Antara senang, haru, gelisah, tidak menentu. Namun, belakangan ini kegelisahan berhasil mendominasi perasaanku. Padahal aku sudah banyak berdoa sesuai nasihat Mama, memohon jalan ini dimudahkan, semua urusan dilancarkan.

Gelisahku bukan tanpa alasan, ini semua karena aku merasakan ada sesuatu yang ganjil pada sikap Ian. Dua hari lalu dia mengirim e-mail. Singkat dan berisi permintaan maaf, entah untuk kesalahan yang mana. Apa karena persiapan pernikahan yang begitu melelahkan? Sudah aku maafkan, dan aku ikhlas menjalaninya. Aku tidak pernah main-main dengan keputusan ini, meski kelihatannya repot sendiri. Berkali-kali kakak dan adik perempuan Ian menawarkan bantuan, aku memberikan tugas pada mereka jika terasa sulit kulakukan sendiri. Kami sering berdiskusi dan kompromi tentang banyak hal. Karena hal ini, akhinya aku bisa mengenal keluarga Ian lebih jauh, terutama kakak perempuannya, ia mengerti perasaanku.

Isi kepalaku kembali ke pesan dari Ian yang terakhir, permintaan maaf. Maaf untuk apa, Yan? Maafmu untuk kejadian yang mana? Jangan bikin aku khawatir.

Saat aku mengirim balasan untuk bertanya, dia tidak menjawab. 2x24 jam berlalu. Akhirnya, e-mail darinya datang tepat di detik di mana rasa khawatirku mulai di ujung tanduk. Aku hampir tak sanggup menahan rasa cemas dan entahlah. Sulit menjelaskan perasaan kalut ini. Sesak dadaku.

Isi pesannya hampir sama, tidak terlalu panjang dan terakhir ia menulis kata itu lagi; maaf. Maaf untuk kedua kalinya. Perasaanku bagai sedang diuji. Luar biasa cemas. Buru-buru aku mengecek pemberitaan tentang Palestina di seluruh media, baik cetak atau dijejaring sosial. Kondisi negara itu cukup kondusif, sebagian warganya diizinkan memasuki kompleks Masjid Al Aqsa. Lalu, aku mengecek sebuah akun Instagram dari penduduk asli sana, story-nya merekam tentang perbuatan seorang tentara perempuan Israel yang melarang perempuan Palestina membaca kitab suci Al Quran dengan suara nyaring. Tidak, tidak ada yang dijahati walau tentara perempuan itu mengacungkan sebuah tongkat kayu. Hanya mengancam.

Jariku terus mengetikkan keyword tentang isu-isu Palestina pada mesin pencari, sudah kubajak komputer kantor demi mencari petunjuk tentang keanehan yang dibuat oleh Ian. Permintaan maaf berturut-turut, sampai dua kali, maksdunya apa? Ini bukan sebuah pertanda buruk 'kan?

Diam-diam aku menarik kesimpulan sendiri, mulai meracau kemana-mana isi kepalaku. Aku menghubungkan dua pesan terakhir dari Ian dengan mimpi lama Mama, mimpi yang semoga saja tidak pernah menjadi kenyataan. Ya Tuhan. Dadaku sedikit sesak, perasaanku jadi tidak enak. Aku tak akan sanggup berpisah dengan dia.

Aku tidak akan pernah siap.

"Melahirkan empat bayi kembar di rumah sakit Turki. Perempuan asal Palestina ini selamat." Kubaca judul di sebuah artikel internasional, mengejutkan. "Alhamdulillah. Ibu dan semua bayinya selamat." Tiba-tiba setetes air mata meluncur. Aku buru-buru mengusapnya saat mendengar langkah rekan kantorku kembali dari makan siang. Sudah jam satu lewat.

Lebih Dari ApapunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang