5. Sebuah Perjanjian

193 20 0
                                    


Zackary mendesah. "Aku mengatakan ini karena aku tertarik padanya dan aku tidak ingin kerajaannya binasa. Karena jika aku melakukannya, bisa-bisa ia akan membenciku seumur hidupnya. Soal di bawah umur ... ya, aku tahu itu dan aku tidak berniat melakukan sesuatu yang tak bermoral. Kamu bisa mempercayaiku," janjinya.

Sekali lagi ucapan Zackary terdengar masuk akal. Hanya bagian janjinya saja yang tidak sanggup Jason percayai.

"Adikmu akan menjadi duchess Willbar di masa depan. Dan aku janji atas nama keluargaku jika aku akan memperlakukannya dengan baik."

Jason tertunduk. Agaknya ia mulai luluh oleh janji manis Zackary. Matanya lantas mengerling ke arah adiknya yang sekarang tengah berpelukan dengan kedua orang tua mereka.

"Adikku tidak akan menyukainya. Ia tidak pernah berpisah dengan orang tua kami. Ia juga tidak pernah menginjakkan kaki di luar istana. Ia pasti tidak akan nyaman tinggal di tempat asing. Belum lagi ia tidak mengenalmu."

Zackary tersenyum menenangkan.

"Itu adalah tugasku untuk meyakinkannya."

"Ah!" Jason langsung kehabisan kata-kata. Ia tidak tahu sebesar apa cinta pada pandangan pertama pria di hadapannya ini. Namun, ada satu hal yang sangat jelas di sini. Apapun itu, ia tidak punya banyak pilihan.

Meski ada rasa takut dalam hatinya sebagai seorang kakak, tapi janji pria ini lebih menenangkannya daripada menghadapi kenyataan terburuk yang mungkin saja akan dihadapi adiknya nanti. Ia tidak akan sanggup jika adiknya dinodai beramai-ramai dan dijadikan pelampiasan hawa nafsu semata. Yang mana, kematian pasti lebih dari sekadar kemewahan daripada menjalani semua itu. Tapi, tetap saja, rasanya mustahil mempercayai janji seorang pria yang terkenal dengan kekejamannya itu.

"A—aku butuh janjimu," ucap Jason putus asa.

"Aku tidak percaya kamu mengatakan itu setelah apa yang hendak kamu lakukan pada adikmu dengan sihir murahanmu itu."

Jason tersentak. Jadi, Zackary tahu perbuatannya. Pantas saja Zackary mendatanginya. "Seperti yang diharapkan dari seorang Zackary Willbar."

"Kuanggap itu sebagai pujian," ucap Zackary sembari mengulurkan tangannya.

Jason menyambut uluran tangan itu dengan perasaan campur aduk. Ia tidak bisa mempercayai kejadian ini. Tapi, kerelaan hati Zackary untuk membuat perjanjian sihir atas nama adiknya membuat hatinya tenang.

"Aku Zackary Albert Willbar berjanji akan menjaga dan memperlakukan ...." Zackary terdiam sejenak karena ia tidak tahu nama lengkap Eleanor.

"Eleanor Forsythia Louis Beril dan keluarganya," sahut Jason.

"Eleanor Forsythia Louis Beril dan keluarganya," ulang Zackary.

"Dengan sebaik mungkin."

"Dengan sebaik mungkin."

"Memastikan keselamatannya."

"Memastikan keselamatannya," tiru Zackary.

"Lebih dari nyawamu sendiri."

Jason menatap tajam ke arah Zackary. Menunggu, akankah Zackary berani memasukkan janji pengikat yang mempertaruhkan dirinya sendiri.

Namun, tak seperti sangkaan Jason, Zackary ternyata menyanggupinya. "Lebih dari nyawaku sendiri," ucapnya tegas.

Senyum tersinyum di bibir Jason saat mendengar Zackary mengucapkan janji itu. Ia pun dengan cepat merapal mantra. Sekelabat cahaya merah melingkari kedua tangan itu dan meninggalkan rajah di tangan masing-masing sebagai pertanda bahwa janji itu masih terjaga.

"Kuberi tahu satu hal lagi," ucap Zackary sebelum Jason pergi.

"Apa itu?"

"Aku punya sesuatu yang membuatku kebal akan janji sihir."

Jason terbeliak. Ia telah tertipu.

"Tenanglah. Aku tidak melakukannya saat berjanji denganmu. Dan ini adalah yang pertama kali kulakukan seumur hidupku. Kamu tahu, ini adalah bukti kesungguhanku pada adikmu. Bahkan jika dia tidak membalas perasaanku, aku telah berjanji akan memperlakukannya dengan baik. Meski begitu, aku tetap yakin dia akan luluh oleh perasaanku, heh!"

Jason menggelengkan kepalanya tidak percaya. "Yah, siapa yang tahu!"

Zackary nyengir dengan tatapan percaya diri. "Selamat berjuang untuk negosiasimu. Aku berdoa untuk kelancarannya."

"Terima kasih!"

Sekali lagi Zackary mengingatkan. "Kamu punya satu kartu penting, jadi jika kamu benar-benar cerdas, harusnya kamu bisa memanfaatkan itu."

"Oke! Kamu juga selamat berjuang. Adikku itu orangnya keras kepala dan tidak gampang luluh."

Zackary tertawa renyah. "Jika semua telah berakhir mari minum bersama, Kakak Ipar."

Jason melotot. Pria yang aneh!

***

Saat ini Zackary dan Eleanor telah ada di bangunan kecil di tengah taman istana. Di depannya telah ada hidangan dan teh hangat yang masih mengepul.

Suasananya begitu tenang dan asri. Sangat berbanding terbalik dengan kejadian beberapa jam yang lalu.

"Jadi, Putri. Apa yang membuatku tidak sopan. Coba katakan sekali lagi. Aku ingin mendengarnya dan memperbaikinya, tentu saja."

Eleanor duduk bersedekap sembari memiringkan kepalanya.

Zackary memandangnya lekat. Berbeda dengan tadi, kali ini Eleanor telah berganti pakaian yang layak jadi wajah cantiknya semakin bersinar. Meski gaun pelayan tidak melunturkan kecantikannya, tetapi dengan dandanan seperti ini, rasanya bunga pun kalah cantik dengan parasnya.

"Bagaimana aku harus mengatakannya, ya. Kamu memperkenalkan diri, tapi aku tidak bisa melihat wajahmu. Itu membuatku sedikit tidak nyaman. Namun, jika kamu memang keberatan untuk memperlihatkannya, aku tidak akan memaksa," ucap Eleanor.

"Kamu yakin ingin melihatnya?" tanya Zackary lembut.

"Tentu jika kamu tidak keberatan," jawab Eleanor sembari menyunggingkan senyumnya yang menawan.

"Ya, aku tidak keberatan," jawab Zackary dengan tersipu. Untuk pertama kalinya, ia terpesona oleh sebuah senyuman. Untungnya sekarang ia tengah mengenakan helm. Apa jadinya jika orang-orang melihat wajahnya yang memerah malu.

Senyum sang putri benar-benar sangat menawan. Zackary tidak bisa membayangkan apa jadinya senyum itu saat sang putri dewasa. Pasti akan banyak pria yang merebutkannya. Untungnya ia datang sebelum semua itu terjadi sehingga semua senyuman itu nantinya hanya akan ditujukan padanya seorang. Ha, membayangkannya saja membuat hatinya senang.

Tak ingin menunda-nunda lagi, Zackary pun melepas helm di depan sang putri.

Perlahan, tapi pasti wajah di balik helm itu terlihat. Pertama, kibasan rambut ungu kehitaman yang menawan. Indah seumpama malam. Rambutnya yang panjang itu lurus menjuntai hingga pinggang.

Eleanor sangat kagum melihatnya. Ia tidak pernah menjumpai rambut dengan warna seperti milik Zackary.

Yang terlihat berikutnya, adalah fitur wajahnya. Dari bawah ke atas, Eleanor bisa melihat garis rahang tegas, bibir tebal yang seksi, hidung ramping yang tinggi, saat tiba di giliran mata, gadis itu langsung terpaku begitu mata ungu gelap itu balas memandangnya. Warnanya begitu gelap hingga rasanya Eleanor tersesat di dalamnya.

Zackary selesai melepas helm di kepalanya tanpa mengalihkan pandangannya dari gadis di hadapannya. Dalam hatinya berharap ada satu dua bagian dari keseluruhan wajahnya yang menjadi selera Eleanor. Makanya dia tak mengalihkan pandangannya dari sang putri.

Namun, jangankan mendapatkan respon, sang putri hanya melihatnya dengan tatapan kosong tanpa mengucap sepatah kata. Mau tak mau, pemuda itu mulai berpikir yang tidak-tidak. Apakah wajahnya terlihat buruk? Apakah ia tidak terlihat menarik bahkan sedikit? Batinnya. Baru kali ini ia menyesal akan satu hal. Harusnya ia mendengar nasehat ibunya untuk lebih peduli dalam merawat diri. Siapa yang tahu kalau dia akan mempertaruhkan kisah cintanya pada wajahnya.

Zackary menghela napas. "Sudah kuduga, kamu tidak akan menyukai wajahku ...."

DUKE WILLBARWhere stories live. Discover now