■ Kelas 12 B IPS

6 6 0
                                    

**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚  WELCOME TO MY STORY ˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*

☆♬○♩●♪✧♩  Semoga suka ya!
Ditunggu vote, komen, dan review dari kalian◝(⑅•ᴗ•⑅)◜..°♡

➷➷➷

Manusia aneh itu masih berdiam diri di depanku, hingga tiba-tiba dia memekik, “Nggak-nggak, gue nggak mau!”

“Nggak mau apa anjim?” tanya Mentari dengan suara lengkingannya.

Ghibran yang tersadar dengan tanya Mentari pun menjawab, “Gue nggak mau sekelas sama manusia ini, tolong!” Aku yang mendengar ucapan Ghibran pun langsung syok.

“Gue sekelas sama lu?” tanyaku yang dia angguki. “Oh my god, gue ampes lagi,” lanjutku yang merutuki kesialan ini.

“Demi apa gue harus sekelas sama ubur-ubur Amazon, oh Tuhan, harusnya aku apes berkali-kali seperti ini,” kataku yang merutuki diri dan mengeluh, membuat mereka semua menatapku cengo.

Hingga Ghibran memberikan jitakan manisnya. “Gue emang seburuk itu apa?” tanya Ghibran padaku.

Aku yang mendapati tanya Ghibran pun menatapnya balik. “Jelas dong, nggak perlu tanya hey!” kataku yang memetik jari.

“Kampret,” umpat Ghibran dengan suara rendah, tak berselang lama Langit menyahut, “Halah kampret-kampret juga tadi abis kegirangan, gimana sih Bapak Negara.”

“Kegirangan gimana maksud lu?” tanya Mentari yang kepo setengah matang.

“Ya kegirangan pas tahu sekelas sama bulek, eh sorry, maksudnya Ibu Negara,” ceplos Langit yang langsung dihadiahi jitakan dari Ghibran.

“Gak ada ya gue kegirangan, cuma karena manusia setengah punuk onta ini,” tunjuk Ghibran padaku.

“Mata lu tuh yang punuk onta, nggak bisa apa lihat gue yang paripurna tiada badai, tiada ombak, tiada tandingannya, anjay~” Mentari menatapku illfeel.

“Gue kok agak gimana ya, Ze,” kata Mentari dengan mencicit.

“Diem lu,” balasku.

“Iye lah tuh.” Kali ini Mentari memilih untuk diam sejenak, meski jika dilihat-lihat kadar tengilmya mulai terbit dari timur.

Sampai pada akhirnya, Maya ikut kembali bersuara. “Ternyata beda kelas tak seburuk itu, gue terselamatkan jiwa jamet dari kalian semua.”

“Gue nggak jamet, Ghibran noh,” tunjukku pada Ghibran, manusia yang ditunjuk pun tak terima dikatai jamet.

“Enak aja, lu tuh jamet!” Ghibran balik menudingku, sangat mengherankan.

Padahal sudah mirip seratus persen, tapi manusia itu mengelaknya, ya, sudahlah. Mau gimana lagi? Manusia ‘kan tempatnya lupa mengaca untuk dirinya sendiri, terlalu mudah memberikan komentar sebagai kaca bagi orang lain sih, makanya begitu, dasar human.

“Kaca mana kaca?” tanyaku pada Mentari dengan terus mendesaknya mengeluarkan kaca, membuat Mentari yang didesak pun mengeluarkan kacanya.

“Nih lu ngaca!” kataku seraya menyerahkan kaca kecil pada Ghibran.

“Ganteng kok gue,” jawabnya dengan pede ketika mengaca. Ghibran menyugarkan rambutnya, memberikan kesan ala-ala berdamage, tapi mohon maaf ini tidak berlaku untukku.

Me Versus Childish (Akan Direvisi) Donde viven las historias. Descúbrelo ahora