23.

696 119 6
                                    

Cerita ini hanyalah fiksi belaka. Kesamaan nama tokoh, tempat, dan peristiwa adalah hasil ketidaksengajaan.

*
*
*

Raganata tengah membasuh badannya yang penuh oleh darah musuh dan juga darahnya sendiri. Beberapa luka  sayatan pedang terlihat memanjang di tangan dan dadanya. Tak lupa, ia juga membasuh pedangnya yang berlumuran cairan kental berwarna merah itu.

Pertarungan tadi cukup melelahkan. Pasukan lawan jumlahnya memang lebih banyak, tapi tidak seberapa kuat sehingga Raganata bisa menghabisi mereka dengan mudah. Diperkiraan lebih dari seperempat pasukan lawan telah dikalahkan. Mungkin esok hari, prajurit Parahyangan bisa menekan mundur mereka.

Setelah tubuh dan pedangnya bersih, Raganata masuk ke dalam tendanya. Tak lama, datang seorang prajurit membawakan makan malam untuknya. Semangkuk sup dan segelas air yang dimasak oleh para prajurit.

''Terima kasih!" ucap Raganata setelah prajurit itu meletakkan makanannya di meja.

Raganata menyimpan kembali pedang ke dalam sarungnya. Ia menyimpan baik-baik pedang itu di samping ranjang.

Raganata menyantap makanannya dengan lahap. Walaupun tidak seenak makanan istana, tapi itu cukup untuk mengembalikan tenaganya setelah berperang.

Setelah makan, Raganata menyempatkan diri untuk mengecek kembali strategi yang telah ia buat untuk melawan musuh esok hari. Ketika tengah serius membaca, tiba-tiba matanya hilang fokus. Pandangannya menjadi buram dan kepalanya terasa pening.

''Ukh, apa aku kelelahan ya?" gumam Raganata sambil memijat pelipisnya.

Raganata meninggalkan strateginya dan pergi ke ranjanya untuk membaringkan tubuh. Matanya tiba-tiba terasa sangat berat. Tak lama kemudian, Raganata terlelap.

Seseorang menyelinap ke dalam tendanya saat ia tertidur. Tangan kanan orang itu menggenggam sebilah pisau. Ia berjalan mendekati Raganata sampai tepat berada di samping ranjangnya.

''Raga, apa kau mendengarku?" tanya orang itu mastikan Raganata tidak sadar.

Tidak ada jawaban dari Raganata. Pria misterius itu menyeringai sambil mengangkat tinggi-tinggi belati dalam genggamannya, kemudian...

Jleb!

Belati itu menancap tepat di jantung Raganata, membuat pria itu seketika melotot.

Darah mengalir melewati sepanjang lekukan dada Raganata bak aliran sungai.

''Ukh!"  Ia meringis merasakan betapa perih dadanya saat ini. Napasnya tersengal karena jantungnya terluka dan tidak berfungsi seperti semestinya.

Raganata menatap orang yang telah melakukan hal keji itu padanya.

''As-traloka! Khe-napah?" tanya Raganata dengan susah payah.

''Heh, dari dulu aku selalu ingin membunuhmu sialan! Kau merebut semuanya dariku. Kasih sayang ayah, gelar, perhatian Gusti Prabu, semuanya! Akhirnya, aku punya kesempatan untuk melakukannya,'' ujar Astraloka di depan wajah kakaknya yang tengah sekarat.

''Oh ya, makanan yang kau makan tadi sudah dicampur obat tidur. Dan ketika kau terbangun, efek sampingnya dapat membuat tubuhmu lumpuh beberapa saat. Karena itu, kau tidak bisa melawanku!" lanjutnya.

Ah, itulah kenapa Raganata merasa tubuhnya mati rasa, dalam artian tidak bisa digerakan. Pengecut, Astraloka pengecut sekali.

Menikam seseorang yang tidak berdaya adalah dosa besar bagi  ksatria. Sebuah tindakan pengecut yang tidak terpuji. Ksatria yang melakukan itu lebih lemah daripada bayi.

''Kau pe-nge-cut Astraloka!"

Wajah Astraloka berubah masam.

''MATILAH!" Astraloka menekan lebih kuat belati di dada kakaknya hingga mata pisaunya tak lagi terlihat.

Hal itu membuat Raganata merasakan sakit yang teramat hebat. Saat itu pula, jantungnya berhenti berdetak. Kelopak matanya perlahan menutup. Di saat terakhirnya, ia melihat Astraloka tersenyum gembira.

______________________________________________________________________________________

''Aku tahu karena dunia ini cerita dongeng di dunia asal ku! Kau dan semua orang di sini hanya tokoh cerita dongeng. Aku bukan berasal dari dunia ini!" aku memelankan suara di kalimat terakhir.

Sangkuriang diam beberapa saat. Mungkin ia mencoba mencerna ucapan tidak masuk akal ku. Tapi, itu sebuah kenyataan. Aku benar-benar bukan berasal dari dunia ini.

''Heh, omong kosong apa yang kau katakan, Kemala? Begitu tidak sukanya kah kau dengan hubunganku dan Nyai Putri sampai membuatmu bicara melantur seperti ini?"

"Aku tida bohong, Kakang. Apa Kakang tidak ingat seperti apa aku saat datang ke sini beberapa bulan lalu? Pakaianku, barang-barangku, semuanya terasa asing bukan? Apa Kakang tidak merasa aneh?"

Lagi-lagi Sangkuriang nampak berpikir. Dahinya sampai berkerut.

Siapa pun orang yang berasal dari dunia ini tentu akan merasa asing dengan barang-barang yang kubawa saat datang ke sini. Kemeja putih, rok span berwarna abu-abu, dasi, name tag, kartu pelajar yang tersimpan di saku seragamku, mereka mungkin akan bertanya-tanya barang macam apa semua itu.

Semua barang itu masih kusimpan sampai sekarang.

Sangkuriang juga mungkin merasa aneh, tapi dia menutupi itu karena aku bilang aku kehilangan ingatan. Dia pikir, bertanya pun percuma karena aku saja tidak ingat.

''Itu...sudahlah! Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa kau dan Nyai Putri sama-sama mengatakan hal tidak masuk akal? Sebaiknya kau tidur dan istirahatkan pukiranmu, Kemala!"

Setelah mengatakan itu, Sangkuriang melenggang pergi. Tapi, langkahnya sempat berhenti karena ucapanku.

''Jaka Sona, percayalah ucapanku!"

Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Ia kembali berjalan dan pergi menjauh.

Betapa keras kepalanya kau, Sangkuriang. Aku mengerti kenapa Dayang Sumbi sampai membuat syarat tidak masuk akal itu dalam cerita. Ia juga mungkin sudah lelah menjelaskan.

Tapi, aku tidak akan menyerah. Aku akan tetap mencegahmu mempersuntingnya, Sangkuriang. Sudah cukup lama tujuanku ini tertunda. Sekarang tidak lagi.

Aku berjalan pulang ke gubuk. Tujuanku sudah bulat sekarang. Aku akan menghentikan Sangkuriang.

*
*
*

Hai, halo!
Maaf ya baru bisa up. Sekarang aku udah mulai kerja lagi, jadi waktu buat nulis tambah tipis. 

Maaf juga chap kali ini lebih pendek daripada biasanya.


Bersambung...


Kemala di tanah Parahyangan Where stories live. Discover now