000.2

33 6 0
                                    

Keduanya hening. Di dalam mobil, hanya suara mesin yang memecah keheningan. Tadinya, Minhee tidak ingin berbohong. Sungguh. Hanya saja, moodnya tengah berantakan dan dia tidak ingin menemui pacarnya dalam kondisi yang seperti itu.

Langit malam ini cerah, begitu menurut Minhee sebab meskipun warnanya gelap, awan terlihat jelas dengan bulan bentuk sempurna. Tapi tidak seindah benda-benda langit, Minhee malah mendapati dirinya terjebak dalam kesalahan yang ia buat dengan kesadaran sepenuhnya.

Luna mendapatinya baru keluar dari tempat billiard bersama teman-teman serta para kating perempuannya. Gadis itu baru saja meeting dengan klien di restoran yang jaraknya tak jauh dari sana.

Benar-benar keadaan dan waktu yang buruk.

"Kalo kamu nggak mau ngomong apapun, aku keluar, Minhee," suara gadis itu yang pertama memecah hening. "Aku tau kamu sadar kalo aku nggak bakal menanyakan hal yang nggak mau kamu bilang. Kalo diem kayak gini, aku mau pulang. Aku capek. Besok masih harus ngantor pagi."

Minhee menoleh, menatap pada gadis yang kini menatapnya dengan pandangan lelah. "Aku kekanakan, ya?"

"Apa?"

"Akunya."

"Konteksnya apa?"

Kepala Minhee hanya menggeleng pelan sebagai jawaban. Lelaki ini kesulitan untuk memulai percakapan yang ia tak tau harus diambil dari titik yang mana.

"Aku pulang," pamit Luna setelah menghela satu napas lelah sambil membuka pintu mobil.

Tangan Minhee bergerak lebih cepat meraih tangan gadis itu. "Aku anter."

"Nggak usah. Ini udah jam sebelas malem. Jarak kosan kamu sama apartemenku berlawanan arah."

"Lun,"

Naluna melepas genggaman itu pelan. "Aku naik taksi aja."

"Sebentar," Minhee menghela napas. Dia benar-benar tidak tahu harus memulainya dari mana. "Aku... minta maaf."

Si gadis menutup pintu mobil agak keras tanpa keluar dari sana, batal keluar. "Buat apa?"

"Karena udah bohong."

Luna masih diam, menunggu Minhee berkata lagi. Namun cowok itu tidak mengatakan apa-apa. "Udah?"

"..."

"Terus? Kamu mau diem kayak gini sampe kapan? Jadi nganter atau nggak?"

Minhee tidak menjawab. Dia menyalakan mesin mobil, tetap mengantar gadis itu sampai apartemennya meski jarak dengan kosannya memang berlawanan. Selama perjalanan, keduanya hening. Naluna hanya diam, menopang kening sambil menatap jalanan. Sementara Minhee hanya fokus untuk menyetir mobilnya.

Suasana lalu lintas yang tak terlalu padat membuat mesin mobil terus menderu menelan perjalanan. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mempertanyakan diri sendiri begitu banyak tanpa memiliki bahkan secuil jawaban pasti yang mampu menenangkan diri. Hingga akhirnya, benda berjalan tersebut tiba di tujuan tanpa menyadari berapa banyak waktu telah berlalu dalam keheningan.

"Harusnya anter sampe depan gedung apartemen aja, nggak usah sampe basemant," ujar perempuan tersebut sambil melepas seat-belt setibanya mereka sampai.

"Lun,"

"Apa?"

"..."

"Kamu kalo diem mulu bikin aku capek tau nggak?!"

Si lelaki menatap gadis yang masih duduk di sampingnya dengan gelenyar perasaan tak nyaman.

"Apa? Kenapa?" tanya Naluna, habis kesabaran. "Kamu capek? Mulai bosen?"

Aftertaste | Minhee ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang