5. Drama

67 12 3
                                    

Happy reading...
Mohon maaf lahir batin ...
Maaf menunggu lama wkwkw, maklum emak-emak ...

Kita hadir lagi dengan ceritanya si Bara-Duda anak satu yang mencari-cari bahagianya...

Butuh waktu lama untuk membuat luka di punggung kaki yang sobek kembali sembuh. Jika ingin cepat kering dan jaringan kulit rapat, maka hindari penggunaan kaos kaki juga sepatu untuk sementara waktu, itu yang dokter sarankan. Tapi apakah bisa? Tentu tidak. Pekerjaan sebagai supir kereta mengharuskan atribut dari ujung kaki hingga kepala lengkap, alias tanpa cela. Seragam kusam sedikit, maka bersiaplah untuk kena tegur. Terlambat berangkat, maka bersiaplah untuk besok dan seterusnya tidak jalan, alias berjaga di kantor. Hal yang tentu merugikan, karena ketika kita tidak jalan, maka tidak ada uang saku tambahan.

"Papah kakinya lagi sakit Fi."
"Sakit apa?"
"Ini yang habis jatuh dari tril, terus kena akar pohon yang tajam sampe nembus sepatu."

Fia melihat luka yang aku tunjukkan dan bergidig ngeri, karena masih basah dan terlihat sobekan dalam yang memperlihatkan daging dan darah.

"Sakit banget ya Pah?"
"Iya. Kaya mau pingsan nih." Bersamaan dengan hal tersebut, aku yang sedang duduk langsung memundurkan badan hingga terlentang di atas kasur seperti orang pingsan. Fia tertawa. Ia segera bergabung ke atas ranjang dengan gerakan yang super tak terduga. Saking senangnya, Fia menghambur ke pelukanku dengan gerakan heboh yang akhirnya kaki kecilnya berhasil menendang lukaku.

"Aww. Masya Allah Fia. Papah lagi sakit, malah ditendang!" Aku reflek memperingatkan, karena memang langsung terasa sakitnya kembali. "Ngga boleh heboh kaya tadi lagi, Papah dirawat kaya pasien di rumah sakit apa gimana, biar cepat sembuh."
"Iya, Papah tiduran aja. Nanti Fia yang ngerawat Papah. Tapi nanti beli roket ya Pah?"
"Apa? Papa ngga dengar?"
"Beli roket."
"Aduh sinyal buruk."
"Iiihh Papah. ROCKET!!" Teriaknya dengan menunjukkan wajah kesal karena aku permainkan.
"Pasien apa ada yang keluar beli roket? Ngga patut!"
"Ya Pah??" Raungnya kembali.
"Papa mbok lagi sakit, makan yang ada di kenapa. Jadi anak belajar nerima, jangan tahunya rokeeeet terus. Apa ngga bosen?" Ibuku yang berada di dapur menyahut.
"Mbuh lah." Serobot Fia cepat. Tak terima dengan nasehat Embahnya.

Lantaran libur, aku putuskan untuk membawa anak dan Ibuku jalan-jalan. Tentu hanya naik motor berputar-putar dari tempat wisata satu ke lainnya. Sekedar menghabiskan waktu, menghabiskan bensin dan menghibur Fia yang jarang keluar dari rumah. Bisa dihitung dengan jari, berapa kali ia bermain di rumah teman atau bermain di lingkungan rumah bersama anak-anak lain. Mungkin karena hal tersebutlah, ia tidak betah jika bertamu ke rumah saudara dan tidak betah berlama-lama berada di acara orang lain. Jika sudah seperti ini, aku akan sangat merindukan Anggi. Istriku, yang pasti bisa menenangkan Fia.

Aku belum menceritakan satu hal, yaitu tentang Ibuku yang seorang single fighter. Meski awal ia hanya seorang penjual makanan di tempat wisata, namun semangat dan usahanya harus diacungi jempol. Ibadahnya begitu rajin, sampai aku malu sendiri dibuatnya. Sholat malam, puasa Senin-Kamis, dzikir hingga doa-doanya yang mustajab ketika aku mengalami sesuatu. Ibulah yang membuatku sukses sampai saat ini, untuk itu, syarat lain aku memilih sosok wanita baru harus bisa menerima keberadaan selain anak, juga Ibuku. Titik.

***

Jika tengah asik jalan-jalan naik motor seperti ini, hal yang paling membuatku merasa bersalah adalah hujan. Fia senang hujan-hujanan. Tapi dia lebih suka jika di tengah hujan ini, ia berada di dalam mobil. Doanya ketika hujan turun bukan lagi, 'Ya Allah hujannya jangan lama-lama', atau 'Ya Allah hujannya jangan gede-gede ', tapi doanya adalah 'Ya Allah, semoga punya mobil lagi'. Begitu ucapnya polos. Mobil sedan yang dulu aku miliki memang telah dijual, uangnya aku gunakan untuk keperluan berobat Anggi.

Create HappinessWhere stories live. Discover now