Five

328 50 4
                                    

Kami tiba di halaman sebuah tempat studio foto. Penampakan luarnya memang terlihat seperti studio foto saja. Namun isinya bukan hanya itu, tapi ada coffee shop dan butik khusus pria yang ditata sedemikian rupa di dalamnya.

"Lo ngapain bawa gue kesini?" tanyaku. Kami berdua sudah turun dari motor.

"Beli helm."

"Mana ada yang dagang helm ditempat gini?"

Jino terkekeh melihat ekspresi kesalku. Lalu ia meraih tanganku begitu saja dan menyeretku masuk kedalam. Aku hanya pasrah mengikutinya.

Sampai di dalam barulah aku ingin memaki Jino dengan sumpah serapah paling kejam. Bayangkan saja, kedatangan kami disambut oleh sekumpulan cowok-cowok yang tidak aku kenali. Mereka semuanya memperhatikanku dari atas sampai bawah, membuatku risih dan malu.

"Mereka temen gue." Jino berbisik di telingaku.

Aku menatap mereka satu persatu. Lalu berusaha tersenyum meskipun terlihat kaku. Mereka semua membalas senyumanku dengan berbagai ekspresi.

"Gue mau pulang." Aku mendesis. Tanpa sadar aku menggenggam tangan Jino lebih erat.

"Tunggu dulu. Duduk disana, gue mau ambil barang." Jino menunjuk satu sofa yang ada di dekat jendela. Setelah itu dia melepaskan tanganku dan pergi menghampiri teman-temannya.

Tak punya pilihan lain dan tak mau berdiri seperti orang bodoh membuatku terpaksa mendekati sofa dan duduk disana. Aku hanya diam sambil mengedarkan pandanganku ke segala arah. Tempat ini begitu fancy. Ada banyak orang berdatangan untuk berfoto atau sekedar nongkrong di coffee shop seperti teman-temannya Jino.

Oh iya. Posisiku dan tempat teman-teman Jino berada itu tidak jauh, mungkin hanya berjarak lima meter. Tapi karena posisi sofa yang aku duduki cukup tersembunyi membuat aku tidak bisa terlihat oleh mereka. Kendati begitu aku masih bisa mendengar obrolan mereka dengan jelas.

"Ni anak jarang ngumpul, sekalinya ngumpul udah bawa cewek aja anjir."

"Bisa gitu ya hahahaha."

"Kelvin keduluan tuh!"

"Diem lo, kampret."

"Bang Zehan dimana?" Ini suara Jino.

"Ada di atas."

"Gue ke sana dulu."

Tak lama kemudian aku melihat Jino berjalan menaiki tangga. Dia akan pergi ke lantai atas? Untuk apa?

"Cewenya dimana? Kok ngilang?"

Aku meremat sisi sofa dengan resah. Semoga mereka tidak mencariku, atau mengajak ngobrol. Aku tidak bisa berinteraksi dengan banyak laki-laki.

"Hai."

"Astaga!" Aku terkejut karena seseorang tiba-tiba muncul di depan wajahku.

"Ah, halo," Jawabku sambil bangkit berdiri.

"Kenalin, gue Kelvin. Temennya Jino." Dia mengulurkan tangan, aku pun menjabat tangannya.

"Gue Sera."

"Udah lama pacaran sama Jino?"

"Hah?" Pertanyaan apa itu?

Cowok bernama Kelvin itu mengerutkan keningnya. Seperti kebingungan.

"Lo pacarnya Jino kan?"

"Bukan!" jawabku cepat. Sedikit sewot juga.

"Lah?" Kelvin garuk-garuk kepala. "Kalau gitu lo siapa?"

"Gue Sera."

Kelvin tiba-tiba tertawa, "Maksud gue lo siapanya Jino?" katanya kemudian.

"Oh. Gue temennya."

A CHOICE | Han Yujin ZB1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang