H-199

154 37 13
                                    

Langkah gontai keempat siswa itu semakin terasa lemah begitu memasuki ruang pesakitan. Bukan, mereka tidak sedang bersiap hendak ditebas lehernya oleh algojo melainkan menghadapi jenis hukuman lain yang lebih abad 21.

"Ya, udah. Mau gimana lagi?" Pradipta sedari tadi tampak pucat. 

Kini sudah jauh lebih mendingan daripada saat diceramahi di ruang guru tadi bersama Tristan dan Leon. Lelaki itu baru saja mengalami sepuluh menit paling mendebarkan dalam hidupnya, kalau tidak salah ingat. Bayangan mengenai kemungkinan orang tuanya akan dipanggil ke sekolah atau nilai-nilai yang sudah dipertahankannya tidak akan bisa membawanya lolos ke perguruan tinggi jalur undangan semester depan berputar bagai mimpi buruk.

He regrets it, after all. Namun, ia tidak bisa merasa lebih lega dari sekarang sebab ternyata BK dan wali kelas mereka hanya memberikan sanksi ringan setelah uji coba membolos-jam-terakhir-lalu-ketahuan tempo hari. Mereka bertiga 'hanya' dihukum membantu pustakawan sekolah menata buku di rak kayu yang baru.

"Boleh, lah," gumam Leon, seakan sedang memberi rating pada pengalaman barunya. "Tapi tidak untuk diulang."

Lagipula, orang waras mana yang ingin diberi sanksi untuk kedua kalinya?

"Guys, sorry banget."

Melvin memandangi punggung lesu ketiga kawannya begitu sampai ke deretan rak kayu yang menjulang tinggi. Ia tidak menyangka 'niat baik' itu membawa mereka masuk kandang singa. Tentu saja Melvin tidak ikut mendapat omelan dan tugas istimewa sepulang sekolah ini. Meskipun begitu, ini menyangkut dirinya. Tidak heran jika Melvin mondar-mandir di depan kantor guru seperti gasing begitu tahu ketiga temannya dipanggil.

"Lah, kok malah lo yang minta maaf?" tanya Tristan sembari berbalik badan. 

"Nggak ada yang salah, Vin. Ini murni kegoblokan masing-masing," ungkap Pradipta, tersenyum geli mengingat pilihannya yang kali ini ternyata salah. Syukurlah anak ini sudah tidak memasang wajah seperti mau pingsan. Fase penerimaan, mungkin.

"Tapi kalo mau nyalahin yang paling salah tetep Tristan, kok, Vin. Lo mah nggak salah apa-apa," Leon mengeluarkan tangan kanannya dari saku celana dan menunjuk sosok berkacamata di sebelahnya.

"Apaan kok gue?!"

"Lo tahu di mana-mana setiap ada kejahatan harusnya yang hukumannya paling berat otak kejahatan. Kemarin siapa yang ngide?"

"Tapi ini bukan kejahatan!" bola mata Tristan seperti hampir melompat dari tempatnya. Kalau berdasarkan penuturan Leon mungkin seharusnya saat ini Tristan sudah harus menelpon pengacara. 

Keempatnya mulai berjongkok untuk memeriksa tumpukan buku di dalam kardus yang harus mereka tata ulang di rak baru yang menjulang tinggi. Tentu saja tidak sekadar menaruh sebab mereka harus diurutkan berdasarkan nama penulis menurut keterangan yang telah dipasang di spine buku.

"Kenakalan remaja kali, ya," celetuk Melvin ketika mengeluarkan beberapa buku nonfiksi dari dalam kardus.

"Kenakalan remaja yang nggak nakal-nakal amat," sahut Leon. Habisnya membolos jam pelajaran ternyata tidak lebih seru dari yang ia bayangkan, sebagai seseorang yang sering mendapatkan dispensasi untuk mengikuti berbagai kejuaran hingga menjelang UAS semester genap kelas 11.

"Kenakalan remaja FOMO biar ada yang diceritain pas udah lulus," imbuh Pradipta, mendeskripsikan dirinya sendiri. Kehidupan sekolahnya terlalu lurus dan mulus. Tadinya ia pikir tidak apa sesekali sedikit keluar jalur.

"Segini doang belum nakal namanya."

Mulai.

"Udah dong, lo jangan memberi pengaruh buruk buat gue sama Melvin," Pradipta mendorong bahu Tristan pelan. Meskipun pelan ternyata cukup untuk membuatnya hampir kehilangan keseimbangan dari posisi jongkoknya.

全力少年 All Out Boy; boys planet 02zWhere stories live. Discover now