H-186

117 36 12
                                    

Ruang kelas itu masih ramai meskipun bel pelajaran pertanda waktunya pulang telah berbunyi puluhan menit yang lalu. Pasalnya kelas 12-2 dan kelas dua belas lainnya kini harus mengikuti pelajaran tambahan dengan intensitas yang semakin sering. Tidak aneh sebab semester ganjil akan habis dalam hitungan hari, disusul dengan Ujian Akhir Semester sebagai penutupnya.

Untungnya guru fisika mereka paham betul bahwa jam sepulang sekolah adalah waktu-waktu krusial di mana rasa kantuk akan menyerang lebih cepat daripada kecepatan materi masuk ke dalam sistem impuls masing-masing siswa. Oleh karenanya, pelajaran tambahan dibuat sesantai mungkin.

"Melvin, belum mau nyerah?" tanya Bu Rani pada siswa malang yang keningnya menempel di papan tulis itu. Di sebelah sosok siswa itu ada gambar rangkaian listrik yang ... kebagusan. Terlalu bagus dan rapi untuk sekadar menjawab soal di papan tulis.

Lengan kirinya mengamit buku teks fisika yang terbuka pada halaman uji kompetensi, tangan kanannya memegang boardmarker tanpa tutup.

"Eeeeeee, sebentar," jawabnya sambil panik. "Opsi call a friend."

Melvin sedikit kesal sebab ia yakin sudah pernah mengerjakan soal semacam ini. Pertanyaan yang dibuat sedemikian rupa setingkat dengan soal yang biasa ada di tes masuk perguruan tinggi. Tidak bisa dikerjakan dengan rumus-rumus dasar yang tertulis dalam buku cetak.

Sayangnya ia lupa dan kini hanya sampai di separuh perjalanan.

"Mana ada yang seperti itu? Ambil kursi saja kalau begitu."

"Tidak, Bu. Satu menit."

"Coba, Leon bantu."

Sebagai teman sebangku yang baik, yang untungnya sedang tidak sibuk memikirkan hal lain, Leon dengan sigap mengangkat bokongnya dari kursi.

"Jangan!" Melvin membuat gestur 'stop' untuk menghentikan si jenius dari niat membantunya. Ia masih ingin berusaha sendiri, lupakan candaan call a friend tadi. Lagipula dengan melihat wajah Leon saja rasanya seperti sedang mengintip cheat sheet. Si siswa yang terjebak lima menit di depan kelas itu mendadak mendapatkan 'inspirasi'.

"Nomor dua puluh dua Hiro, ya. Kalau Melvin sudah nanti nomor dua puluh tiga Doni."

"Baik, Bu," jawab Hiro yang duduk di barisan depan. Langsung berdiri dan mengambil tempat di ujung lain papan tulis.

"Ini Melvin kurang di apa?" Bu Rani mengamati jawaban Melvin yang hampir selesai tetapi ternyata ada langkah yang terlewatkan.

"Coba dibantu Risa, deh," sang guru fisika mulai tidak sabaran.

Beliau bisa saja langsung mengoreksinya tetapi kelas ini telah sepakat sejak dulu bahwa jika masih ada siswa yang dapat menyelesaikannya maka Bu Rani belum akan turun tangan.

"Boleh?" sang siswa tersenyum cerah setelah memutar kepalanya ke arah belakang.

Risa yang tadi sempat diam-diam mengecek ponsel mendongak. "Boleh."

"Eh, jangan, deh."

Tidak, tidak hari ini. Walaupun sedikit ngotot Melvin yakin akan dapat menyelesaikannya sendiri. Sang guru fisika menghela napas lalu tersenyum atas tekad itu.

"Itu ajaran lo pasti," Pradipta dari bangkunya bersuara pelan, mengajak bicara rekan sebangkunya. "Ilmu modus."

"Diam tidak selalu berarti emas, diam saja bisa juga tetap dibawa-bawa," Tristan memutar bola mata pertanda sedang tidak minat diledek.

Agaknya materi fisika kali ini sungguh membosankan dilihat dari kacamatanya—biasanya juga begitu, sih. Membosankan karena ia tidak paham, tidak paham karena membosankan. Sebuah lingkaran setan. Tristan jadi memutar otak agar sesi ini cepat berakhir.

"Bu, sebentar lagi ada live streaming dari komite seleksi masuk perguruan tinggi," celetuk Tristan berniat mengingatkan.

Kali ini ia tidak berbohong karena memang telah dijadwalkan akan ada siaran langsung dari lembaga di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hari ini akan diumumkan teknis pelaksanaan seleksi yang akan diselenggarakan mulai awal tahun depan alias pada semester genap mendatang. Pengumuman yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

"Iya, kah? Ini tanggal berapa?" sang guru mengambil ponsel yang ada di saku roknya. "Oh, iya. Ibu lupa."

"Jadi ...?" wajah Tristan mendadak berseri-seri penuh harapan. Dirinya membetulkan frame kacamata yang bertengger di hidung lalu menaruh kedua telapak tangan di atas meja.

"Jadi kenapa, Tristan?"

"Harusnya kita nonton, dong."

"Nanti lihat resume-nya saja."

Jawaban guru fisikanya itu membuat pundak Tristan jatuh ke lantai. Tidak. Namun, ia sungguh kecewa sebab upayanya sia-sia. Pradipta yang melihat itu ingin tertawa sambil memukul-mukul pundak orang di sampingnya, tetapi ia urungkan.

"Duh, penasaran banget. Nggak bisa konsen."

Rupanya si mata empat masih belum mengibarkan bendera putih. Ia masih ingin mengundang iba dari guru mereka itu.

"Kayak-kayak yang pernah konsen pelajaran aja," Leon berbalik menghadap Tristan dan memicingkan mata.

"Heh, kampret. Ini penting menyangkut masa depan," yang merasa tersindir menendang pelan kaki kursi kawan di depannya.

"Ya sudah, yang sedang tidak maju boleh sambil menonton live."

YES! Masih belun memenuhi harapan Tristan untuk pulang lebih awal tetapi jauh lebih baik sebab ia bisa terang-terangan menggunakan ponsel.

"Menonton live, bukan yang lainnya," tambah Bu Rani sebelum Tristan sempat login pada aplikasi permainan online.

"Leon mana mikir beginian. Udah pasti lolos SNM," tukas Pradipta setelah selesai memasang earphone.

"Kata siapa, orang gue mau lintas jurusan," tandas si juara kelas tanpa menghadap belakang.

"CUY!" Tristan berdiri dari tempat duduknya. Tidak menyangka jawaban itu akan didapatnya dari seorang Leon. Tidak salah, kah?

"Tristan katanya mau nonton live streaming."

"Maaf, Bu."

"Orang gila," desis si ketua kelas pelan. "Udah balik, nih, pakar modus kita."

Melvin yang baru saja kembali dari medan perangnya terheran-heran melihat ekspresi kaget di raut dua temannya.

"Tahu nggak si Leon mau linjur?" Tristan mengerahkan seluruh kekuatan rahangnya agar minim volume tetapi kalimatnya dapat ditangkap dengan jelas.

"HAH?"

"Melvin, pindah saja kalau berisik ngobrol sama Tristan."

"Tidak, Bu. Maaf."

Pradipta menahan tawa melihat wajah Tristan yang tersenyum masam sebab lagi-lagi ia terseret dalam crime scene. Ketiganya—kecuali Leon—lalu berbicara dalam volume setingkat obrolan semut, mengabaikan tayangan siaran langsung di smartphone masing-masing.

"Mubazir banget jago fisika sama matematikanya."

"Makanya emang freak ini anak."

"Tapi nggak ada ilmu yang sia-sia, sih."

"Bener juga."

"Iya, pada akhirnya semua bakal bermanfaat. Apalagi buat Leon. Gue percaya lo bakal bisa, kok, Yon."

Leon membisu. Reaksi ini tidak mengejutkannya, justru lebih baik dari yang ia bayangkan.

Ia serius dengan ucapannya. Leon tidak sedang berniat sekadar mencoba peruntungan atau membuat pembuktian pada orang lain. Hanya saja tidak peduli seberapa bagus nilainya dalam bidang pengetahuan alam, minat yang sebenarnya ia miliki tidak di sana. Lelaki itu ingin menjadi dirinya sendiri, bukan versi lain dari kakaknya yang sempurna seperti yang selalu dibayangkan para anggota keluarga besarnya. Semua itu ingin ia cukupkan di titik ini.

Leon ingin mencapai langit miliknya dengan tangga yang ia susun sendiri.

to be continued




hehe

全力少年 All Out Boy; boys planet 02zTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang