Prolog

1.2K 61 0
                                    

"Apa Kelinci Besar, sedang mencoba memangsa kelinci kecil?" Seorang gadis cantik yang usianya masih sekitar tujuh belas tahun, memiliki surai panjang, kulit putih bersih bertanya pada seseorang yang kala itu berhasil menangkap seekor kelinci di tengah hutan.

Sang pria yang berlutut dengan posisi sedikit membelakangi gadis itu pun menoleh. Ia menatap nanar gadis cantik yang tengah tersenyum ke arahnya. "Siapa yang kau sebut Kelinci?"

Gadis cantik itu memendarkan pandangan, sesaat. "Apa kau melihat ada orang lain di sini yang tengah menangkap seekor kelinci dan mencoba menggigitnya?"

Si pria mengernyitkan kening, membiarkan kedua matanya memicing, menatap sang gadis dengan tatapan aneh. "Lalu apa yang sedang kau lakukan di tengah Hutan seperti ini?"

"Siapa namamu?" tanya si gadis, tiba-tiba. Ia seolah dengan sengaja, mengalihkan topik pembicaraan, mengabaikan pertanyaan yang telah si pria lontarkan.

"Pergi dari sini, bocah kecil." Si pria berucap sembari mengalihkan pandangan, kemudian berdiri.

"Hei, apa kau mau berteman denganku?"

Si pria menoleh lagi ke arah gadis cantik itu. Namanya Keira, lengkapnya Keira Nelson.

Menatap pria yang mendadak dijadikan lawan bicara ayalnya pertemuan mereka, Keira menatap pria tampan yang berada di hadapanya itu dengan tatapan mata yang menyorotkan rasa antusias sambil tersenyum dan mengulurkan tangan, hendak mengajak si pria bersalaman.

Namun, berbanding jauh terbalik dengan ekspresi yang Keira tunjukan, si pria menatapnya dengan tatapan aneh, bahkan terkesan mencibir.

Sepertinya si pria tidak tertarik dengan tawaran yang gadis cantik itu lontarkan. Alih-alih balas uluran tangan, atau paling tidak membalas senyuman yang sudah Keira lemparkan, si pria menelisik tangan penampilam Keira dari ujung rambut hingga ujung kaki sembari menaikan alis sebelah kirinya. "Apa aku terlihat seperti orang yang tertarik untuk berteman denganmu?" sarkasnya.

Keria masih setia memoleskan senyum ramah di bingaki birai tipisnya sembari menggeleng samar dengan lugunya.

Gadis cantik itu memniarkan manik matanya untuk menatap wajah pria di hadapannya, sedikit menelisik wajah pria tersebut. Ia kemudian cengengesan. "Tampan. Kau tampan sekali," cicitnya, memuji.

Keira sama sekali tidak berbohong saat mengatakan bahwa pria yang saat itu tengah berdiri di hadapannya sangatlah tampan, karena memang benar adanya, raut wajah pria yang secara tidak sengaja Keira temui di hutan dekat rumah neneknya itu, memanglah sangat tampan.

Tingginya sekitar 178 centi meter. Rambutnya berwarna hitam legam. Hidungnya mancung, tapi pangkalnya sedikit besar. Garis rahangnya tegas. Pelupuk matanya berbulu lentik.

Bibirnya ... bagian atas tipis, sedangkan bagian bawah sedikit tebal. Kulitnya putih, pucat.

"Gadis aneh," hardik pria yang baru saja Keira puji itu, memecah keheningan yang sesaat sempat menyapa, kala Keira sibuk menilik penampilannya di bawah sorotan terangnya cahaya rembulan.

Keira berdecih kesal sembari mendelikan mata, menarik tangannya yang masih terulur, ia menatap pria itu dengan tatapan tidak suka. Akan tetapi, kemudian tersenyum manis secara tiba-tiba. "Kau tidak mau memberitahuku siapa namamu? Siapa tahu, kita bisa berteman."

Si pria tampan menatap Keira dengan tatapan aneh, terkesan mencibir, seperti sebelumya, tidak menunjukan gelagat ramah sama sekali. "Tidak. Terima kasih. Aku tidak butuh teman sepertimu."

Kerutan samar menyembul di permukaan kening Keira, mewakili rasa heran yang ia rasakan. Menikan alis sebelah kiri, Keira menatap lawan bicaranya, lamat. "Memangnya aku seperti apa?"

"Kau itu menyebalkan dan lemah!" hardik si pria tanpa berpikir, kemudian setelahnya mengalihkan pandangan, memutuskan kontak mata yang sudah berlangsung lama antara dirinya dan Keira.

Mendengkus kesal, bingkai birai Keira mencebik, diiringi dengan kepala dan pandangannya yang seketika tertunduk lesu. "Jahat sekali," gumamnya, begitu lirih.

'Tapi bagaimana pun, apa yang dia katakan memang benar. Aku memanglah seorang gadis yang lemah, hingga tidak ada satu pun orang yang ingin berteman denganku,' monolog batin Keira, mengutarakan rasa kecewa juga kesedihannya.

Si pria terpekur sesaat, mendesi pelan sembari memiringkan kepala, ia memejamkan pelupuk matanya rapat-rapat, sekilas. Setelahnya, ia kemudian menolehkan lagi pandangannya ke arah Keira, menatap gadis cantik itu dengan tatapan lekat, beberapa detik.

Membuang napas kasar, pria tampan itu menundukan pandangannya sebentar. "Aish, benar-benar. Hey! Baiklah. Mari kita berteman," tandasnya tiba-tiba, membuat Keira seketika menengadah.

Gadis cantik itu kembali mempertemukan netra teduhnya dengan si pria, menatap lawan bicaranya itu dengan sorot mata yang berbinar, ayalnya manik rusa yang terlihat begitu menggemaskan.

Tatapan yang Keira tunjukan, begitu syarat dengan penuh harap. "Sungguh? Kau mau berteman denganku?" tanyanya sambil tersenyum senang.

Si pria memutar bola matanya jengah sembari membuang napas kasar untuk kesekian kalinya, kemudian memutar tubuh dan berjalan pelan, menyusuri semak belukar yang menghadang jalannya.

"Hey, tunggu dulu. Katanya kau mau berteman denganku. Kenapa tidak memberitahu namamu?" racau Keira sembari bersusah payah berjalan, mengekori si pria tampan yang ditemuinya tersebut.

"Diam. Jangan berisik!" Si pria memberi sebuah titah dengan begitu penuh penekanan sambil menyempatkan diri untuk melirik ke arah Keira, menatap gadis cantik itu melalui ekor mata.

Setelah bersusah payah, Keira akhirnya berhasil mengimbangi langkah pria tersebut, hingga mereka kini dapat berjalan saling berdampingan. "Jika kau tidak memberitahu namamu, maka aku akan terus memanggilmu dengan sebutan Kelinci. Ah tidak." Keira menggeleng gamang kala ia berniat untuk mengoreksi perkataannya. Ia terkekeh, setelahnya. "Aku akan memanggilmu dengan sebutan Bunny, mulai sekarang."

Si pria berdecih. "Kelinci dan Bunny, apa bedanya?"

"Tentu saja berbeda. Bunny lebih terdengar sedikit keren."

Si pria membuang napas kasar, malas melakukan perdebatan dengan Keira lebih lama, mempermasalahkan hal yang baginya sama sekali tidak berguna. "Terserah."

Keira berdecih pelan. "Ngomong-ngomong, Bunny ... kenapa kau menangkap kelinci itu?"

"Untuk kuambil darahnya. Jika kau tidak mau diam, aku pun akan mengambil darahmu juga."

Keira mengernyitkan kening. Ia menatap pria tampan yang berjalan menuntunnya itu dengan tatapan bingung, sungguh tidak mengerti pada apa yang baru saja ia dengar. "Kenapa kau mau mengambil darah kelinci dan juga darahku?"

Si pria tampan menghentikan langkah, membuat Keira melakukan hal yang sama. Ia kemudian menatap manik mata gadis cantik yang tidak mau diam itu dengan tatapan lekat. "Karena dengan begitu aku bisa bertahan hidup."

Keira mengerjapkan pelupuk matanya secara berulang dengan lugunya. "Apa aku juga bisa melakukannya?"

"Melakukan apa?"

"Mengambil darah kelinci, seperti apa yang kau lakukan, agar aku bisa tetap bertahan hidup."

Si pria menatap Keira dengan tatapan nanar. "Kenapa?"

Keira terdiam. Gadis cantik itu tiba-tiba bungkam dan bergeming, tidak mengatakan apa pun. 'Karena aku ingin sembuh dan ingin bertahan hidup.'

Si pria tiba-tiba terkekeh. "Tentu saja kau bisa."

Raut wajah Keira seketika menyorotkan binar-binar penuh pengharapan juga antusias pada saat yang bersamaan. "Benarkah? Bagaimana caranya?"

Si pria menyeringai ngeri penuh arti, sesaat. "Dengan membiarkan darahku, mengalir melalui pembulu darahmu."

Through Your Veins | CompletedWhere stories live. Discover now