21 - Happy or Hurt?

137 10 0
                                    

Arka tidak langsung pulang ke apartemen, lelaki itu lebih memilih untuk datang ke sebuah coffe shop yang belakangan ini baru saja ia ketahui adalah milik salah satu sahabat lamanya saat ia masih belajar di sekolah penerbangan. Arka segera mengambil posisi duduk di kursi tinggi, tepat di depan barista yang terlihat tengah hilir mudik untuk meracik pesanan para pembeli.

"Eh, ada tamu agung nih. Mau kopi pahit apa manis, Kapten?" tanya seorang barista laki-laki, yang Arka yakini cukup terkejut dengan kehadirannya.

"Ah, apa aja lah, Wan. Asalkan jangan lo tambahin sianida aja, belum kawin gue."

Pilot yang saat ini sudah beralih profesi menjadi seorang barista itu langsung mengernyitkan dahi. "Gak percaya gue, lo belum pernah kawin." Ia menujuk celana Arka menggunakan dagu. "Secara gitu lo seorang pilot. Yakali ntu barang masih tumpul aja."

"Sialan!" Arka menimpuk sahabat lamanya itu menggunakan sekotak tempat tisu. "Gue masih perjaka, ya. Emang elo, pensiunan pilot yang matanya selalu jelalatan ke mana-mana."

"Ye, sok tahu lo! Gue udah tobat kali. Udah lama, bahkan sebelum gue buka coffe shop ini."

"Ah, masa?"

"Si bangke, Arka! Baru juga ketemu gue lagi lo, udah ngeselin aja."

Arka tertawa. Memang setelah lulus dari sekolah penerbangan, ia dan Ridwan--sahabat lamanya itu tidak saling bertukar kabar. Terakhir, kabar burung yang sampai ke telinganya adalah kabar bahwa Ridwan sudah tidak lagi berprofesi sebagai seorang pilot, di mana ternyata baru ia ketahui beberapa hari yang lalu ini bahwa sahabatnya itu telah beralih profesi menjadi seorang barista di sebuah coffee shop miliknya sendiri.

Tidak butuh waktu lama bagi seorang Ridwan untuk bisa menyajikan secangkir kopi pesanan Arka. Ia lantas menopang dagu untuk memerhatikan dengan seksama wajah kapten pilot di depannya.

"Kenapa sih lo? Mukanya kusut amat kek kanebo kering."

Arka menggeleng. Menyesap pelan secangkir kopi buatan sahabatnya. Pun baru beberapa saat cairan kopi itu masuk ke dalam rongga mulut, ia langsung melempar tatapan menusuk ke arah Ridwan.

"Sengaja, 'kan lo?" geramnya menimbulkan kekehan dari Ridwan.

"Gak niat juga sih sebenarnya. Tapi, lihat muka lo yang ditekuk terus begitu. Ya, sekalian aja gue buatin kopi paling pahit yang ada."

Arka lagi-lagi menggeleng, meletakkan cangkir kopi yang sedaritadi ia pegang.

"Reina balik," cetusnya.

"Oh, ya? Bagus dong. Akhirnya penantian lo selama ini membuahkan hasil juga."

Bukannya tersenyum, Arka malah mendesah kecewa. "Dia gak mau buka hatinya lagi buat gue." Ia menatap Ridwan. "Reina bahkan secara terang-terangan bilang kalau ada hati yang perlu dijaga."

"Hah?"

"Bulan gue udah mengganti sosok bintangnya."

Ridwan terdiam, ia cukup tahu sejarah hubungan antara Arka dengan Reina. Awal-awal ia bahkan sangat salut dengan keberanian Arka dalam memperjuangkan cintanya. Ya, bagaimana tidak? Ia yang notabene menyukai dunia penerbangan saja, cukup frustasi kala menjalani serentetan pendidikan di sekolah penerbangan. Ini Arka, sahabatnya malah tetap gigih mengikuti serentetan pendidikan tanpa mengeluh, pun mengenyampingkan rasa takut juga traumanya akan dunia penerbangan, demi bisa mengejar sosok Bulan yang menghilang secara tiba-tiba dari pandangan.

"Time to move on, Bro," celetuk Ridwan takut-takut sahabat di depannya itu akan berubah menjadi gila. Ia tahu tabiat Arka, pun tidak menutup kemungkinan bahwa sahabatnya itu bisa bertindak yang tidak-tidak.

The Perfect PilotWhere stories live. Discover now