1.Wounded Night

116 10 0
                                    

Malam itu, tangisan kencang kedua adiknya dari lantai 3 rumah besar yang ia tinggali, membangunkan Balendra dari tidurnya yang bahkan belum genap satu jam. Pukul setengah satu malam, dimana seharusnya semua orang terlelap karena kelelahan dengan aktifitas siang tadi. Namun, suara pecahan benda kaca terdengar nyaring kemudian.

Lendra dengan kesadaran yang seperti ditarik begitu saja, segera turun dari atas ranjang setelah menyibak selimutnya dengan asal. Berlari keluar menghampiri sumber suara, yang ia yakini berasal dari kamar kedua orang tuanya.

Adik bungsunya hampir terguling ke lantai dua, andai saja Lendra tidak sigap menarik bocah 5 tahun itu dengan segera. Menyelamatkannya dari kejadian yang bisa saja menjemput maut untuk anak itu. Lendra memeluk tubuh gemetar itu, kecil dan ringkih, seperti sangat mudah dihancurkan dalam sekali rematan.

''Arsya kenapa bisa di sini?'' Ia bertanya. Sembari mengusap punggung sempit Arsya yang tengah menangis dalam pelukannya.

''Takut.'' Meski tidak terlalu jelas pengucapannya, Lendra tidak mungkin salah mendengar kalau adiknya mengatakan dirinya sedang ketakutan.

Kemudian suara bentakan sang Ayah terdengar keras. Sangat keras, hingga disusul tangisan putra kedua keluarga kecil itu. Lendra segera menggandeng tangan kecil Arsya untuk ia bawa mendekati keributan itu. Namun, ia urung, dan justru berhenti di depan kamarnya sendiri.

''Sya,'' panggilnya. Ia berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan sang adik. Memegang kedua bahu kecilnya, ''Kamu masuk ke kamar Kakak dulu ya. Kakak mau ke Mama sama Ayah sebentar.'' Katanya.

Namun si kecil menggeleng, ''Jangan, nanti Kakak sakit.'' Kedua sudut bibirnya turun ke bawah. Menahan air yang berdesakan di kedua matanya pula, namun ia tidak bisa. Banjir deras di kedua pipinya saat itu.

''Hey, dengerin Kakak. Nggak apa-apa, kamu masuk dulu. Kakak nggak lama kok, nanti kita bobok bareng ya?'' Ujarnya.

Lendra semakin takut dengan suara tangis adiknya yang lain. Di ruangan yang hanya berjarak beberapa meter dari kamarnya. Suara tangis adiknya terdengar sangat keras, seolah anak itu benar-benar ketakutan. Tidak jarang suara adu mulut antara kedua orang tuanya terdengar, kemudian tangisan meraung Mamanya.

Dijanjikan seperti itu, membuat Arsya perlahan mau mengangguk. Selepas kedua pipinya diusap oleh Lendra, ia didorong masuk ke dalam kamar oleh Kakaknya. Kemudian menyaksikan sendiri saat pintu kamar ditutup perlahan, lalu suara langkah kaki tergesa Lendra menjauhi kamar.

Lendra mematung, melihat betapa berantakan kamar kedua orang tuanya. Di sudut ruangan itu, sosok mungil lain yang begitu mirip dengannya sewaktu kecil dulu, duduk meringkuk memeluk lutut dengan gemetar hebat. Ghasen, menangis meraung namun seolah suaranya lenyap begitu saja di telinga kedua orang tua mereka. Ghasen menangis, namun orang tuanya tetap memilih ribut di depan matanya.

''AYAH, MAMA! APA-APAAN KALIAN INI?!'' Anak itu membentak. Berlari cepat menyusul adiknya yang terlihat tidak berdaya karena ketakutan. Entah bagaimana ceritanya Ghasen bisa ada di sana, di tengah keributan Mama dan Ayah mereka tengah malam begini.

''Kakak!'' Ghasen menangis histeris, memeluk pinggang ramping kakaknya dengan begitu erat. Menangis di dada kakaknya, seperti yang sering ia lakukan dulu ketika masih berusia 3 tahun.

Lendra mengusap kepala adiknya, memeluk tak kalah erat. ''Tenang ya, Kakak di sini.'' Bisiknya. Anak laki-laki itu menatap kedua orang tuanya bergantian. Menyaksikan sendiri bagaimana keributan besar tadi, seketika berubah menjadi perang dingin. Dadanya bergemuruh hebat.

''Mama, kenapa?'' Ia bertanya. Meski sepenuhnya ia mengerti, bahwa bukan ranahnya untuk bertanya demikian. Mungkin itu permasalahan kedua orang tuanya dan dia sebagai anak tidak seharusnya mengetahui. Namun, ketika tahu hal itu melibatkan kedua adiknya yang masih kecil, Lendra tidak terima.

PromiseWhere stories live. Discover now