17.Kebohongan Balendra

51 2 0
                                    

Balendra tidak pernah tahu kalau keputusannya untuk membawa Ghasen dan Arsya kembali ke rumah akan membuat perubahan yang sangat besar. Ia tidak menyesal sama sekali, hanya saja rasanya sedikit tidak adil.

''Bodoh!''

Plak!

''Ayah heran, kenapa di antara 4 anak Ayah, cuma satu yang bisa buat Ayah bangga.''

Bugh

''Pecundang!''

Tubuhnya sakit semua. Lendra meringis merasakan asin darah di bibir dan bau anyir di pelipisnya. Baru saja Pranata melemparnya hingga kepalanya membentur ujung meja kerja.

Tamparan yang sama mampir di pipi Aksa dan Arsya. Kecuali Ghasen yang hari itu pulang dengan kertas ulangan yang nilainya sempurna. 100, seperti yang Ayah harapkan selama ini.

''Mulai hari ini, jadwal les kalian masing-masing Ayah tambah 2 jam. Nggak ada penolakan!'' Katanya.

Sebenarnya ini yang membuat Lendra harus berpikir dua kali untuk membawa kedua adiknya kembali ke rumah. Siksaan ini yang membuat Lendra selalu resah dan takut akan kenyataan. Kenyataan yang hari ini harus Arsya saksikan dan rasakan.

Pranata beralih pada Ghasen yang menunduk, anak itu tidak berani membuka suara setelah apa yang terjadi pada ketiga saudaranya. Tetapi Pranata menepuk pundaknya pelan, tersenyum setelahnya.

''Kamu hebat, hari ini juga Ayah pesankan mobil baru buat kamu.''

Itu kali pertama Lendra mendengar Pranata berujar dengan lembut pada putranya. Ia tersenyum tipis, meski seluruh tubuhnya terasa sakit. Ia bahagia untuk Ghasen, namun juga terluka untuk Arsya.

''Dan untuk kalian bertiga, kembali ke kamar! Hari ini nggak ada makan malam.''

Dengan begitu mereka keluar dari ruang kerja Pranata. Beringsut ke kamar masing-masing untuk membersihkan diri.

Sekar berdiri di luar ruangan Pranata sejak lama. Mengawasi apa yang pria itu lakukan terhadap putra-putranya. Ia mengkhawatirkan mereka semua, tapi Lendra adalah yang paling menyita perhatiannya.

Sebagai anak sulung, Lendra mendapatkan luka yang jauh lebih banyak dari adik-adiknya. Arsya dan Aksa hanya mendapat dua atau tiga tamparan dari Pranata, sedang Lendra mungkin sudah tak terhitung berapa bogem yang bersarang di tubuhnya sekarang. Anak itu keluar dengan kacau.

Sekar membuntuti Lendra hingga ia berpapasan dengan Bi Rahma di ruang tengah. Lendra naik ke atas, sedangkan Sekar berhenti mencegat Bi Rahma yang akan ke dapur.

''Bi, tolong obatin lukanya Aksa ya di kamarnya. Dan tolong bilangin ke Ghasen supaya lukanya Arsya juga dibersihin. Saya mau tengokin Lendra dulu. Dia yang paling parah soalnya.'' Kata wanita itu. Jelas Bi Rahma menangkap raut khawatir di wajah Sekar meski wanita itu mencoba tenang di hadapannya.

''Baik, Bu.''

Bi Rahma berlalu, begitu juga Sekar yang kemudian menuju ke kamar Lendra.

Anak itu duduk di kursi belajarnya. Menatap hasil ulangannya hari ini yang nilainya semakin turun. Bahkan tidak sampai menyentuh angka 6. Lendra meremas rambutnya asal, sepertinya frustasi dengan keasaannya. Beberapa helai rambut rontok di tangannya sendiri, tapi Lendra justru tidak berhenti mengacak-acak surai hitamnya.

Sekar menghampiri anak itu, menyentuh tangannya yang membuat rontokan rambut itu makin banyak di lantai dan bahunya sendiri.

''Sayang, jangan ditarik nanti habis.'' Katanya pelan disusul usapan halus yang menggantikan tangan Lendra di kepala anak itu.

''Tante ngapain ke sini?'' Suara Lendra terdengar. Agak dingin tapi tidak seketus biasanya.

Sekar tersenyum tipis, ''Coba lihat, pasti sakit banget 'kan?'' Wanita itu menaikkan lengan pendek seragam Lendra dan menjumpai luka lebam yang membiru di sana. Ia sekilah melihatnya tadi ketika anak itu keluar dari ruang kerja Ayahnya.

PromiseWhere stories live. Discover now