7.Nasehat Favorite

33 6 0
                                    

Ayah marah. Tentu saja.

Bagaimana mungkin laki-laki itu tidak marah ketika mengetahui nilai ujian kedua anaknya lagi-lagi menurun hebat. Mungkin 95 masih terlalu jauh dari keinginannya, namun lebih buruk dari itu, Aksa mendapat nilai 80 kali ini.

95 milik Lendra seakan tidak berarti apa-apa. Pranata tetap menghajarnya. Begitu juga Aksa.

''Tangan.''

Sebuah kayu panjang sudah Pranata genggam. Tepat di hadapan Aksa dan Lendra yang mulai menyodorkan kedua tangan masing-masing.

''Ayah ragu kalau berandalan seperti kalian bisa membanggakan Ayah. Memalukan!''

Ctaks!

Ctaks!

Lendra memejam begitu rasa panas dan perih menjalar di kedua lengannya. Kulit-kulitnya yang putih pucat mulai memerah dengan garis panjang melintang di beberapa bagian.

''Kapan kalian ngerti kalau dunia nggak akan nerima orang-orang bodoh dan pemalas seperti kalian di masa depan, Hah?!''

Ctaks!

Ctaks!

''Shhh.'' Aksa refleks meringis dengan suara lirih. Kedua tangannya sakit bukan main.

''Diam! Ayah nggak ngijinin kalian bersuara 'kan?!'' Bentak Pranata begitu keras. Disusul suara pukulan kayunya sekali lagi di masing-masing tangan anak-anaknya.

Lendra mengulum bibirnya, menahan suaranya yang nyaris keluar karena kesakitan. Namun Pranata tidak lelah memukuli mereka. Bahkan hingga terlihat beberapa pukulan meninggalkan bekas merah yang nyaris mengeluarkan darah. Lendra meringis tanpa suara.

''Kalian mau bikin Ayah malu di depan temen-temen Ayah? Mau bilang apa Ayah nanti kalau ditanya tentang nilai kalian yang sama sekali nggak ada artinya itu?!''

Satu pukulan.

Dua pukulan.

Bahkan hingga masing-masing tangan yang mulai gemetar itu dipenuhi garis merah berdarah pun, Pranata masih gencar memukuli lagi.

Lendra lantas menurunkan tangannya ketika Pranata menyudahi hukuman itu. Diikuti Aksa yang nyaris menangis menghadapi kemarahan Ayahnya.

''Seperti kesepakatan, malam ini jangan harap kalian dapat makanan.'' Lanjut laki-laki paruh baya itu.

''Kembali ke kamar kalian, terus belajar. Ayah nggak mau lihat nilai ini lagi di ujian selanjutnya.'' Lantas ia mengusir kedua anaknya agar segera keluar dari ruang kerjanya.

Pukul 19.30 WIB

Lendra menatap kedua tangannya yang memerah. Untung Pranata tidak memukul bagian punggung atau telapak tangannya, jadi ia tidak terlalu sulit menyembunyikan luka-luka itu ketika keluar rumah nanti.

Perlahan ia membasuh kedua tangannya dengan air dingin, merasakan sensasi yang meski menyakitkan, ia menikmatinya. Setelah selesai, ia segera mengambil obat merah dan kapas untuk mengobati kedua tangannya.

Terus seperti itu, seperti hari-hari dimana ia tidak pernah bisa mendapat nilai yang memuaskan untuk Pranata. Ia harus mengobati dirinya sendiri di malam hari.

Selepas mengobati luka luarnya, Lendra segera beranjak mengambil botol obat magh miliknya di dekat meja belajar. Mengeluarkan beberapa butir dan menelannya sekaligus tanpa memperhatikan dosisnya. Ia tidak berekspresi, hanya menghela napasnya merasa lelah.

Tring...

Ponselnya menyala, mengantarkan suara notifikasi yang baru saja terkirim. Ia tidak berniat mengeceknya, justru langsung beranjak ke kamar mandi untuk mengganti seragam sekolahnya.

PromiseWhere stories live. Discover now