Bab. 06. Berujung (Dipaksa) Putus

91 12 0
                                    

Niat hati Anggun untuk segera berkemas ketika tiba di rumah sirna karena melihat Septi yang duduk di bangku tembok tepat di serambi depan rumah.

Seketika Anggun dilingkupi kegelisahan. Termasuk rasa penasaran.

Mengapa kakak Dhanan datang ke rumahnya?

Septi yang sedari tadi menunggu bangkit lantas menghampiri Anggun. "Baru pulang, Ngun?" tanyanya kemudian melirik kembali layar ponselnya. "sudah lewat isya padahal. Lembur?"

Anggun coba tersenyum. Ia menyalami tangan Septi terlebih dahulu. "Tadi ada sedikit urusan, Mbak. Mbak ... enggak kabari Anggun dulu kalau mau ke rumah."

"Ini, Mbak mau ke rumah ibu. Mbak pikir, Mbak sudah lama kamu enggak ketemu kamu. Jadi, Mbak mampir ke sini dulu. Oia, Mbak beli ikan bakar buat kamu. Kamu suka ikan bakar, 'kan?" lanjutnya sembari menunjuk bungkusan yang ditinggalkannya di atas bangku.

Anggun ikut melongok. Hatinya malah semakin gelisah karena Septi sampai repot-repot bawa sesuatu untuknya. "Mbak repot-repot. Makasih, Mbak."

"Cuma ikan. Kemarin Mbak beli, enak. Mbak jadi kepikiran sama kamu."

"Makasih, Mbak."

"Nggun, tadinya ada yang mau Mbak bicarakan, tapi ini sudah terlalu malam. Besok saja Mbak ke sini lagi, yo?"

"Anggun mau ke Jakarta, Mbak. Sepertinya lusa baru pulang atau Senin sekalian nanti berangkat kerja dari sana."

"Oh, ke rumah ibumu, yo?" tebaknya.

"Iya, Mbak. Ayo, Mbak, kita ngobrol sebentar di dalam." Septi diam sejenak. Ia kembali menatap layar ponselnya untuk menghitung kira-kira ia sampai di rumah jam berapa nantinya. "Mbak?"

"Yo weslah. Sebentar saja. Mbak juga sudah enggak bisa tahan lagi ingin ngobrolin ini sama kamu."

"Iya, Mbak. Ayo."

Septi mengikuti langkah Anggun, lantas duduk bersebelahan dengan kekasih sang adik. Hatinya tiba-tiba meragu. Septi tahu betul Dhanan tidak akan suka kalau dirinya ikut campur. Namun, Septi tidak bisa menunggu lagi. Ia juga tidak bisa membiarkan ibunya menyimpan resah sendirian.

Setali tiga uang dengan Septi. Anggun juga gelisah, takut. Sengaja ia menaruh tas di atas pangkuan. Anggun tidak ingin Septi melihat tangannya gemetaran.

"Begini, Nggun ... bingung, aduh, Mbak bingung mulainya darimana," ucap Septi sembari sesekali membetulkan ujung hijab yang dikenakan.

Anggun diam sejenak. Ini pasti menyangkut dengan Dhanan. Apa pertemuannya tadi dengan Dhanan telah diketahui Septi? "Mas Dhanan sudah cerita semuanya sama Mbak, ya?"

Ketegangan di wajah Septi perlahan memudar. "Iya." Kata itu meluncur begitu saja dari mulut Septi. Meski tidak tahu apa-apa, tetapi sebaiknya ia pura-pura tahu saja.

"Anggun minta maaf."

Dahi Septi mengerut. "Minta maaf?"

"Iya, Mbak. Anggun, Anggun sayang sama Mas Dhanan, tapi Mbak benar—"

"Memangnya kamu sungguh dengar apa yang Mbak obrolin sama Dhanan?" potong Septi.

Anggun mengangguk. "Malam itu, Anggun memang berniat ke rumah Mas Dhanan, tapi Anggun lihat mobil Mbak di halaman rumah. Anggun lihat dari jendela, sepertinya Mbak sama Mas Dhanan bicara cukup serius."

"Kamu dengar apa yang Mbak bicarakan sama Dhanan?"

Anggun mengangguk. "Mbak benar. Enggak seharusnya Anggun menghalangi kebahagiaan Mas Dhanan."

Septi memandangi Anggun. Ia berani bersumpah kalau dalam dasar hatinya, Septi ingin akhir kisah Anggun dan Dhanan bisa berlabuh dalam satu dermaga yang sama.

White LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang