Bab 07. Tersisih

88 12 0
                                    

"Kapan sampai di Jakarta?"

Anggun berusaha memperlihatkan senyum terbaik ketika uak yang menurut Andin sangat menyebalkan itu datang dan menyerahkan dua kotak berisi kue bolu di tangannya.

"Kemarin malam."

"Oh."

Cepat-cepat Anggun masuk ke dalam. Niat hati menghindari wanita bernama Wijiarti, tetapi nyatanya langkah Anggun diikuti sampai ke dapur. Anggun meletakkan dus kue itu di dekat kulkas.

"Taruh di piring. Saya bawa itu buat tambah-tambah suguhan tamu yang datang, bukan buat dimakan sama kamu atau mama kamu!"

Anggun diam sejenak. Ada banyak hal yang membuatnya enggan berlama-lama tinggal bersama keluarga besar mendiang ayahnya. Contohnya, satu ini.

"Eh, Uak sudah datang?" tanya Rio yang masuk ke dapur lantas menyalami tangan Wijiarti.

Raut wajah Wijiarti berubah seratus delapan puluh derajat. "Iya, baru sampai. Itu, Uak bawa kue, nanti satu buat disuguhkan ke tetamu, satunya kamu bawa ke kamar kamu, ya? Itu bolu pisang kesukaan kamu. Sudah, ya, Uak ke luar dulu."

Anggun mengepalkan erat tangannya hingga ia bisa merasakan kuku-kukunya menancap ke telapak tangan. Seharusnya Anggun terbiasa, seharusnya itu bisa menjadi hal sepele. Rio, Rio dan Rio hanya Rio yang dianggap dalam keluarga ini.

Rio adalah pusat dari semua hal menyenangkan. Itu adalah kenyataan yang digenggam erat dari keluarga ayah Anggun. Anggun mengerti, Anggun sadar dan ingin memaklumi itu, tetapi mengapa sampai usianya menginjak di angka tiga puluh, Anggun masih belum bisa menerimanya dengan sikap masa bodoh.

"Mbak, mama masih di kamar?" tanya Rio mendekati Anggun. "Mbak?"

Anggun tidak menjawab, ia memilih pergi menuju ruang tamu.

Acara empat puluh hari tahlil mendiang ayah Anggun diiringi dengan lantunan ayat suci dan doa. Sepanjang acara, Anggun hanya bisa menunduk lesu, sembari sesekali menyeka air mata.

Ayah adalah satu-satunya yang Anggun miliki. Satu-satunya orang yang selalu mengirimkan pesan; Sudah makan, Nggun? Hari ini kantor bagaimana? Kapan kamu ke Jakarta, Nggun? Ayah kangen kamu, Nggun.

Tiang yang menjadi pegangan Anggun ikut sirna ketika ayahnya dinyatakan meninggal dunia karena gagal ginjal.

Cepat-cepat Anggun menyeka air mata ketika satu per satu tamu bangkit untuk menerima sekadar bingkisan lalu pulang.

Teringat kembali suasana hening yang terasa sampai ke hati ketika tahlilan tujuh harian mendiang ayahnya selesai. Anggun bisa merasakan perlahan pelita yang menerangi hatinya redup lantas benar-benar padam.

"Mbak, geser sedikit, Mbak, Rio mau taruh piring kotor ke dalam."

Anggun mengerjapkan mata lantas bergeser agar Rio yang membawa baki berisi piring kotor bisa ke dapur.

"Kasihan Ali, Ya Rabb."

Anggun menoleh, suara tangisan dari neneknya-Hotifah malah membuat Anggun cemas karena Anggun tahu, ibunya yang selanjutnya akan menjadi bulan-bulanan.

"Punya istri enggak becus urusin kamu Ali. Ya Allah, kasihan anakku," raung Hotifah lagi.

"Sudah, Bu, kasihan Ali kalau ditangisi terus begini," bujuk Wijiarti.

Ningrum yang masuk bersama lelaki berpakaian rapi membuat Hotifah menyeka air matanya. "Kita mulai saja pembacaan wasiat dari Mas Ali, Bu."

"Tanah makam anakku masih merah, tapi kamu selalu saja mau membahas masalah warisan, warisan dan warisan!" sentak Hotifah.

"Maaf, Bu. Ningrum enggak bermaksud begitu, tetapi ini sudah jadi wasiat dari Mas Ali. Pak Nurdin akan membacakan wasiat dari Mas Ali, sesuai dengan permintaan Mas Ali, Bu."

"Benar, Bu. Bapak Ali sudah memberikan amanah dan kepercayaannya kepada saya untuk mengurus surat wasiat dan meminta saya membacakan surat ini tepat di acara tahlil empat puluh hari beliau."

"Ya, sudah, Pak. Dibacakan saja, ini sudah malam," timpal Wijiarti sembari membetulkan gelang-gelang emasnya yang berentet di dua pergelangan tangan.

"Baik." Sang lelaki yang berpakaian rapi itu membuka tas yang dibawanya.

Ketegangan jelas terlihat di raut setiap orang, tanpa terkecuali Anggun. Bukan memikirkan harta apa yang akan dimiliki Anggun, Anggun hanya ingin tahu, pesan terakhir dari sang ayah.

"Pada hari ini, Rabu, empat Februari tahun 2023, saya Ali Muliawan bin Abdul Muliawan dengan sadar dan tanpa paksaan dari pihak manapun, membuat surat pernyataan waris atau wasiat kepada anak kandung saya Rio Pratama dan istri saya Ningrum Berliani. Dengan surat ini, saya menyerahkan harta saya kepada anak dan istri saya setelah saya meninggal dunia. Rumah yang saya diami akan menjadi hak Rio Pratama, satu bidang tanah seluas dua ratus meter di jalan Kemanggisan Raya, Depok Dua, Jawa Barat akan menjadi hak dari istri saya Ningrum Berliani, sedangkan uang tabungan milik saya akan dibagi rata kepada ahli waris saya setelah urusan hutang piutang selesai. Demikian surat pernyataan wasiat warisan atau hibah harta yang saya buat dengan disaksikan oleh beberapa orang saksi kepercayaan saya."

Suasana berubah hening sesaat ketika sang notaris menutup map lantas menatap Ningrum juga Rio.

"Alhamdulillah, Rio. Ayah kamu akhirnya bisa berpikir lurus selurus-lurusnya. Nanti kalau ibu kamu meninggal, warisan ayah kamu, akan menjadi milikmu juga, tenang saja Rio," ucap Wijiarti membelah keheningan.

"Untuk para saksi, Ibu Ningrum dan Mas Rio, silakan ditandatangani berkas-berkas ini, nanti saya akan datang lagi untuk menyerahkan semuanya kalau sudah selesai dilegalisir."

Anggun yang sedari tadi berusaha tegar akhirnya tidak sanggup lagi berdiri. Tubuhnya terhuyung menabrak Rio yang berdiri di sebelahnya.

"Mbak? Mbak kenapa?"

Air mata Anggun merebak saat matanya bertemu dengan mata Rio.

"Enggak, enggak ... enggak!" jerit Anggun.

Refleks Ningrum bangkit lalu mendekap erat Anggun. "Anggun, sayang, tenang, Nggun."

Anggun mengibas tangan ibunya. "Kenapa nama aku enggak di sebut ayah, Ma? Kenapa?"

Ningrum kembali mencengkeram lebih erat tangan Anggun. "Ini enggak seperti yang kamu pikirkan, Nggun. Mama, mama akan jelaskan semuanya, kamu tenang dulu?"

"Jelaskan? Apa lagi yang Anggun enggak tahu, Ma? Anggun memang enggak pernah dianggap sama kalian!" Sekali lagi Anggun menepis tangan Ningrum. "Untuk apa Anggun ada di sini? Lebih baik Anggun pergi!"

Rio dengan sigap menarik lengan Anggun. "Mbak, dengar dulu, Mbak. Kita akan bicara, Mbak."

"Bicara? Kamu bisa bilang begitu karena kamu enggak ada di posisi aku, Rio!"

"Enggak begitu, Mbak!"

"Enggak begitu? Begitu seperti apa, Rio? Aku ini memang enggak pernah dianggap sama kalian! Kamu pikir aku marah karena aku enggak dapat harta dari ayah? Enggak! Aku enggak pikirkan itu!"

"Mbak."

Anggun menyusut air matanya. Menatap sekali lagi Ningrum, Rio juga sanak saudara yang sedari tadi menontonnya. Rasa marah, kecewa, takut yang selama ini Anggun pendam dan tanggung sendirian sudah sampai di puncak kepala.

"Kalian memang enggak pernah anggap aku ada!"

White LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang