Bab 24. (Dipaksa) Ke Arah Serius.

111 13 0
                                    

Dhanan telah selesai bercerita dan Septi yang terlanjur kesal malah sengaja menyibukan diri dengan ponselnya. Sesekali Septi melirik putrinya yang asyik sendiri menonton televisi, berharap putrinya minta diajak pulang. Septi ingin pergi tanpa 

Sri menarik napas dalam-dalam lantas menepuk pelan paha Septi. "Menurut kamu piye, Nduk?"

"Ora ngerti aku, Bu. Percuma melu komentar," seloroh Septi tanpa menatap ibunya.

"Mbak, Anggun itu minta pendapat, kok, Mbak. Aku pikir-pikir ada benarnya juga," tambah Dhanan berusaha meyakinkan.

Septi meletakkan ponselnya di meja. "Lalu mau kamu apa? Kamu itu mau minta pendapat kami atau mau ngasih tahu keputusan kalian berdua? Mbak sampe capek ngomong ini sama kamu Nan. Jadi cowok iku kudu nduwe pendirian! Sedikit-sedikit, kok menurut Anggun, menurut Anggun. Enggak ngerti lagi sama kamu!"

Sri kembali menepuk paha Septi. "Nduk—"

"Opo, Bu?" potong Septi, "pokoknya Septi enggak ikut-ikutan! Terserah mau nikah atau tunangan! Soal Subang juga Septi enggak mau tahu! Yang pasti, Septi enggak setuju kalau ibu punya rencana ikut sama Dhanan ke Subang! Septi enggak mau pisah sama ibu! Titik!"

Tahu kalau Septi tidak akan mengubah pendiriannya, kini Sri beralih menatap Dhanan. "Nan, kalau menurut ibu, niat baik itu seharusnya enggak ditunda-tunda."

Merasa ibunya satu suara, Septi ikut berkomentar, "Nah, aku bilang apa? Itu maksud aku, Bu!"

Sri mengusap kembali paha Septi, berharap kali ini putrinya bisa memberikan kesempatan untuk bicara. "Coba kamu ajak Anggun ketemu sama ibu. Kita bicarakan baik-baik. Bila perlu, langsung saja bertemu dengan Ningrum dan Rio. Ibu berharap tahun ini kamu bisa menikah. Soal rencana ke Subang, kita bicarakan nanti setelah kamu menikah. Selesaikan satu per satu."

"Baik, Bu. Besok—"

"Enggak ada besok-besok! Kamu jemput Anggun sekarang! Kita bicara langsung. Kalau dinanti-nanti, Mbak yakin sejuta persen kamu itu bakalan plin-plan! Cepat jemput Anggun!"

Tidak mau membantah, Dhanan pergi tanpa diminta kedua kali. Anggun sempat terdiam ketika Dhanan menjemputnya, tetapi ia tidak mau terkesan membenarkan dugaan Septi kalau berniat menunda pernikahan. 

Dengan berat hati, kini Anggun duduk saling berhadapan dengan keluarga Dhanan.

"Dhanan sudah cerita tentang yang kamu inginkan, Nak," ucap Sri membuka pembicaraan.

Anggun beranikan diri untuk menatap Sri. "Iya, Bu," timpalnya pelan.

"Kalau menurut ibu, niat baik harus segera dilaksanakan. Terlebih, menurut ibu, kalian sudah matang untuk bisa melangkah ke jenjang selanjutnya."

"Anggun … hanya ingin semua terencana dengan baik, Bu," sahut Anggun berharap nada bicaranya tidak memberikan kesan memang ingin menunda rencana pernikahan.

"Rencana manusia itu enggak selalu sama dengan rencana Tuhan. Manusia itu hanya bisa menjalani, berusaha jadi lebih baik. Setiap rencana Tuhan, pasti baik untuk umat-Nya," seloroh Septi.

Anggun kembali menunduk. Jujur, dalam hati terdalamnya tetap ada satu hal yang selalu ia ragukan. Melangkah lebih dalam dengan Dhanan membuatnya takut. Anggun takut semuanya akan membuat Dhanan tidak bahagia, terlebih setelah apa yang terjadi pada Anggun.

"Setelah kalian menikah, semua masalah bisa diatasi lebih mudah. Ibu juga lebih tenang. Soal ke Subang, atau kalau kalian cepat diberikan momongan, ibu yakin akan ada jalan keluarnya. Tuhan berikan rezeki, patut kita syukuri," tambah Sri.

Dhanan menatap Anggun. "Ibu dan Mbak Septi benar Nggun. Niat kita baik."

Mendengar kata kita yang diucapkan Dhanan, hati Anggun teriris nyeri. Tidak pernah sedikitpun Anggun meragukan ketulusan Dhanan, karenanya semua terasa semakin menyakitkan, yang sangat ia ragukan adalah dirinya sendiri.

Sentuhan lembut di punggungnya membuat Anggun kembalikan menegakkan pandangan. Senyuman tulus Sri membuat pandangan Anggun berkabut. Sungguh keluarga Dhanan adalah keluarga penuh hangat. Belum pernah ia memilikinya.

"Nak, apa kamu enggak keberatan kalau Dhanan menghubungi mama kamu? Walau lewat telepon, ibu akan lebih tenang."

Anggun diam sejenak sampai akhirnya kembali berkata, "Bu, keluarga Anggun … enggak sama." Anggun kembali diam, bibirnya tampak gemetar.

Sri tersenyum, matanya memandang hangat Anggun. Pelan ia meraih tangan Anggun lantas mengusap punggung tangan Anggun. "Nduk, enggak ada yang perlu kamu khawatirkan. Kamu adalah wanita hebat, Dhanan ingin menikahi kamu karena kamu wanita hebat, Nak."

Kehangatan penuh haru yang ada di hadapannya tidak menggerakkan hati Septi. Ia terlanjur kesal, jengah dan tidak bisa mentolerir sikap Anggun termasuk Dhanan yang tidak berpendirian.

Baginya pemandangan seperti ini persis seperti adegan sinetron dengan masalah yang sama dan tidak pernah selesai di setiap episode. Memuakan.

Septi berdeham. "Ini jadinya bagaimana? Mau telepon Ibu Ningrum atau bagaimana? Sudah semakin malam."

Dhanan mengeluarkan ponselnya. "Biar Dhanan yang telepon Rio," tawarnya.

"Enggak perlu, Mas. Biar Anggun saja," tolak Anggun halus lantas menghubungi Ningrum.

Suara Ningrum yang terdengar di ujung sambungan membuat Anggun merasa lega sekaligus gugup. Sejenak ia diam menatap Dhanan sampai Ningrum terdengar cemas. "Halo? Anggun? Kamu dengar mama?"

"Ma, Mama lagi sibuk?"

"Enggak, Nak. Ada apa? Mama cemas."

"Anggun enggak kenapa-kenapa, Ma. Ma, Anggun lagi di rumah Mas Dhanan, Ma." Sejenak Anggun diam, matanya bergantian memandang Septi, Dhanan dan Sri. "Ma, keluarga Mas Dhanan ingin ke Jakarta untuk melamar Anggun."

Di ujung sambungan, Ningrum diam. Meski sudah mempersiapkan hal ini akan terjadi, tetapi nyatanya hati Ningrum masih saja meragu. "Anggun, besok Mama dan Rio akan datang ke Bogor."

"Ke Bogor?" 

Sri yang duduk di sebelah Anggun sontak mencondongkan kepala ke arah ponsel di telinga Anggun. "Biar kami saja sebagai pihak lelaki yang datang ke sana." Anggun menepikan ponselnya sejenak kemudian memandangi Sri. "Nduk, katakan sama mama kamu, biar kami saja yang pergi ke sana," ulangnya.

Anggun coba tersenyum lantas mengangguk. "Ma, kalau keluarga Mas Dhanan saja yang datang ke sana, bagaimana?"

"Anggun, apa Mama bisa langsung bicara sama ibu Dhanan?"

Anggun kembali menurunkan ponselnya. "Mama mau langsung bicara sama ibu."

Sri mengangguk-angguk. "Iya-iya, boleh, Nduk." Sri meraih ponsel yang disodorkan Anggun. "Halo, assalamualaikum."

"Alaikum salam. Mbak, apa kabar?"

"Baik Ning, Mbak sehat. Kamu sendiri sama Rio bagaimana?"

"Sehat, Mbak, alhamdulillah."

"Syukur, Ning, alhamdulilah. Ning, rencananya besok, saya, Dhanan sama keluarga Septi mau main ke rumah kamu. Kami ingin membicarakan tentang Dhanan dan Anggun." Senyum Sri seketika lenyap mendengar kalimat demi kalimat yang dilontarkan Ningrum. 

Secuil kekecewaan merebak di antara sela hati Sri. Septi yang menyadari ada hal yang tidak beres dari raut wajah sang ibu, refleks mencondongkan diri ke arah Sri.

"Bu? Bagaimana? Ditolak?"

Tebakan Septi tak ayal membuat Anggun dan Dhanan kompak menatap serius Sri yang terpaksa berusaha menatap ke arah lain.

"Iya, Ning. Saya mengerti. Iya, baik. Besok saya tunggu di rumah. Iya. Assalamualaikum."

Melihat Sri memutus sambungan Septi kembali bertanya, "Bu? Bagaimana? Benar ditolak, Bu?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 16, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

White LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang