Rumah Neraka

11 2 1
                                    

Kamu tahu sebutan untuk orang tua yang tidak bisa ngapa-ngapain? 

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Kamu tahu sebutan untuk orang tua yang tidak bisa ngapa-ngapain? 

Ya, jompo. 

Itulah yang dirasakan Gaia saat ini setelah hampir seharian berdiri di lapangan. Kakinya terasa mati rasa, sehingga dia harus duduk selonjoran untuk mengistirahatkan otot-ototnya yang kaku. Bahkan, untuk sekadar menegakkan tubuhnya saja dia tidak mampu. Kini gadis itu hanya menyandar lelah, di dekat parkiran motornya. Di tangannya memegang botol air mineral yang sudah habis. Meskipun tenggorokannya masih terasa kering saat ini, Gaia benar-benar tidak beranjak untuk membelinya. 

Beberapa murid yang tengah mengambil kendaraan mereka sesekali melihatnya aneh. Tak jarang mereka langsung berbisik membicarakannya. Gaia tidak suka dengan hal itu, yang kadang membuatnya membentak dengan ketus. 

Di tengah nyamannya dia beristirahat, matanya menangkap sosok tidak asing. Senyum Gaia merekah, dan dia langsung memanggil, “Devara!“

Namun, laki-laki itu hanya menatapnya sekilas. Mengabaikan Gaia dan terus berjalan menuju motor prima bututnya. Praktis, Gaia langsung cemberut. Kekesalannya muncul, yang membuatnya langsung meneriakkan nama laki-laki itu. Tetap saja usahanya sia-sia, karena Devara benar-benar pergi tanpa menoleh lagi padanya. 

“Tuh orang tuli kali, ya!“ decak Gaia jengkel. 

Gadis itu akhirnya beranjak bangun, mengambil motor dan mengendarainya pulang. Sikap menyebalkan Devara benar-benar ampuh untuk mengusir lelahnya Gaia, meskipun kini hati gadis itu diliputi kekesalan. 

Hanya membutuhkan waktu dua puluh menit akhirnya Gaia sampai di rumah. Dia yang masih merasa jompo tidak berniat untuk mampir ke manapun. Gadis itu segera memarkirkan motornya di garasi, tersenyum manis tatkala Mang Tono—penjaga rumahnya—menyapanya dengan hangat. 

Sengaja melangkah dengan cepat, Gaia tidak sabar untuk sampai di kamarnya agar bisa segera menjatuhkan dirinya di ranjang. Namun, begitu melewati ruang santai, kakinya reflek melangkah pelan. Dia memasang telinganya lebar-lebar ketika mendengar suara pertengkaran yang disertai teriakan dan makian. 

Akhirnya, Gaia menghampiri asal suara tersebut. Dia mendesah panjang saat melihat ibu dan ayahnya lagi-lagi bertengkar hebat. Kepalanya mendadak pusing, dia hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah orang tuanya itu. 

Memilih mengabaikan lagi dan lagi, Gaia memutuskan untuk kembali melanjutkan langkahnya ke kamar, meskipun dengan lesu. Baginya, hal seperti ini sudah menjadi makanannya sehari-hari. Selalu ada pertengkaran di rumah yang terjadi. Bahkan untuk masalah sepele pun, orang tuanya itu selalu beradu mulut. Mereka saling keras kepala, dan tidak ada yang mengalah. Hal inilah, yang membuat Gaia tidak betah di rumah dan sering kali membuat onar untuk mencari perhatian.

Our Last Summer [PROSES TERBIT] Where stories live. Discover now