6| Kalau Memang Rezeki

551 86 40
                                    

lelah ya?
semoga bab ini bisa menghibur kalian, selayaknya Nona terhibur saat menulisnya.
***

■■■

ATA bergeming menatap beberapa botol kaca mini yang telah kosong, menyisakan masing-masing satu butir di telapak tangannya.

'Padahal sudah kusiasati untuk jarang meminumnya, tapi kenapa tetap cepat sekali habisnya'.

Ata membatin sebelum mengambil gelas air putih dan menenggak tiga pil itu bersamaan.

Pukul 11 malam, Wirya pulang dari aktivitasnya sebagai ojek online. Pria berbahu lebar itu menyeret langkahnya duduk di sofa ruang tamu. Tampangnya kelihatan lelah dan lusuh. Ata yang baru saja menuruni anak tangga, langsung tancap gas menuju dapur, mengambil segelas air untuk ayahnya.

"Ta, belum tidur?" tanya Wirya ketika sang putra datang dengan membawa segelas air. "Duduk sini!" Wirya mengambil gelas tersebut dan menenggak isinya sedangkan Ata ikut duduk di sebelahnya. "Tumben belum tidur. Kenapa?"

Ata tersenyum singkat. "Belum, Yah. Nggak bisa tidur."

Sejenak muka Wirya berubah khawatir. "Ada yang sakit?" tanyanya menegakkan punggung, bersikap siaga.

Ata menggeleng sambil terkekeh pelan. "Nggak. Cuma kepikiran Ayah, aja."

Wirya mengernyit. "Kepikiran Ayah? Memang ada apa sama Ayah?"

"Ayah kan kerja pagi-siang-sore, bahkan sampai malam gini. Sementara aku sudah berhari-hari ini di rumah." Ata menunduk, memainkan jari-jarinya. Pemuda itu merasa tidak enak. "Maaf, Yah. Aku belum dapat kerjaan. Loker-loker yang kemarin diinfoin sama Kak Raysha nggak ada yang menghubungiku setelah interview."

Wirya menarik napas panjang. Tatapannya melembut menyaksikan sang putra yang tampak mulai kehilangan harapan. "Nggak apa-apa." Wirya mengusap-usap punggung Ata.

"Belum rezekinya kamu. Mungkin juga resto-resto yang kamu lamar itu nggak baik buat kamu, makanya Allah belum nge-acc kamu kerja di sana. Inget Ta, Allah itu tahu yang terbaik buat kamu. Usaha dan doa aja terus, Nak," lanjutnya.

"Yah, tangannya kok anget?" celetuk Ata seraya menahan tangan sang ayah. Dan Ata baru menyadari kalau muka ayahnya juga pucat tak seperti biasanya. "Ayah sakit?"

Wirya mengurai cekalan tangan Ata. "Nggak usah khawatir. Ayah cuma masuk angin. Istirahat sebentar pasti sembuh. Lagian Ayah juga udah beli obat di apotik tadi."

Nyatanya itu tak mengurangi kekhawatiran Ata. "Kita ke dokter ya, Yah."

"Nggak usah."

"Tapi Yah---"

"Ayah mau mandi terus tidur. Kamu juga tidur sana. Udah malam, Ta."

Wirya beranjak pergi ke kamar mandi sedangkan Ata masih terduduk diam memandangi punggung ayahnya. Tanpa sengaja, Ata melihat sebuah kertas tergulung yang lecek di tempat ayahnya semula duduk.

Ata membuka kertas itu. Dahi Ata mengernyit bersamaan dengan kedua alis tebalnya yang terangkat. Ata berdiri hampir menabrak meja karena terhuyung. Pemuda itu cepat-cepat mencari ayahnya. Ia jongkok di depan kamar mandi menunggu Wirya keluar.

"Yah, kenapa nggak bilang dapat ini?" todong Ata ketika Wirya baru keluar dari kamar mandi.

"Loh kok itu bisa ada di kamu? Ah, pasti tadi jatuh."

"Besok hari terakhir, untung aku nemuin ini."

Wirya hendak mengambil kertas itu, tapi Ata lebih dulu menyembunyikannya. "Ta, jangan memaksa. Istirahat di rumah. Mukamu pucat. Besok kita ke dokter Yasha. Jadwal check up-mu berikan ke ayah. Ayah lupa tanggal berapa harusnya kamu lakukan transfusi lagi." Wirya bersuara tegas.

WAY: Who Are You S2 [✓]Onde histórias criam vida. Descubra agora