28| Iri

606 98 83
                                    

Manusia itu bisa berubah-ubah ya gaes ya.

Malmingnya ditemenin Geng kafe Nostalgia dulu ya.

Yuk vote dan ramaikan kolom komentarnya.

Happy Reading

***

SEBENARNYA, Anin tidak pernah keluar malam hanya untuk jalan-jalan tanpa tujuan. Namun, malam ini ada yang berbeda. Tiba-tiba saja, Anin ingin keluar jalan-jalan di daerah sekitar kosannya saja. Tapi, tanpa sadar langkahnya membawa Anin ke kafe Nostalgia. Entahlah, mendadak Anin ingin melihat keadaan kafe itu.

Anin pikir, hanya akan ada lampu halaman yang menerangi kafe Nostalgia. Namun sesampainya di sana, Anin bisa melihat lampu di dalam ruangan kafe juga menyala. Ada orang di sana.

Kali ini secara sadar, Anin membawa langkahnya masuk ke kafe hingga denting lonceng di pintu masuk terdengar. Seorang pemuda yang tengah duduk di salah satu meja pelanggan itu terperanjat dari lamunannya.

"Mas Dyan. Mas Dyan ngapain masih di kafe malam-malam gini? Bukannya kafe udah tutup?"

Anin menarik kursi kayu di depan Dyan. Sebelum duduk, gadis itu menoleh ke belakang, melihat tulisan OPEN yang dibacanya di pintu. Itu artinya, dari luar tulisan CLOSED yang terbaca.

Ketika duduk, barulah Anin menyadari penampilan Dyan yang lebih kusut dari biasanya. Kemurungan jelas tampak di wajah pemuda itu.

"Mas Dyan kenapa? Ada masalah?"

"Ke sini sengaja atau kebetulan lewat?" Bukannya menjawab, Dyan justru balik bertanya.

"Kebetulan lewat sih. Nggak tahu, tiba-tiba pengin jalan-jalan terus lihat kafe lampunya nyala. Ya, udah aku ke sini, eh, ada Mas Dyan."

Dyan tersenyum tipis. Nada bicara Anin yang terdengar renyah agaknya sedikit menghibur Dyan.

"Mas Dyan kenapa? Pertanyaanku tadi kok nggak dijawab."

Dyan menggeleng. Lalu memainkan cangkir putih dengan ampas kopi yang tersisa di dalamnya. "Mau buatin gue kopi nggak, Nin? Gue buat sendiri rasanya beda. Nggak kayak buatan lo."

Anin melirik cangkir putih di depan Dyan. "Boleh. Tapi habis itu Mas Dyan berbagi cerita ya, sama aku. Ada apa? Kenapa Mas Dyan kelihatan sedih gini?"

Lama, Dyan memandang mata bulat Anin yang berbinar-binar tertimpa cahaya lampu neon kafe. Sedetik kemudian Dyan mengangguk.

Kopi pahit manis telah tersedia di meja, Anin si peracik pun telah duduk anteng di depan Dyan. Namun, Dyan masih terlihat bimbang; antara berbagi cerita atau tidak dengan Anin.

"Mas."

Dyan yang sejak tadi memainkan pinggiran cangkir kopi pun mendongak, melihat wajah Anin yang tampak kesal tetapi juga khawatir.

"Sebenarnya bukan masalah besar, cuman tetep aja rasanya gue nggak rela."

Anin mengernyit bingung. Tapi gadis ini enggan bertanya. Dia lebih memilih menunggu Dyan melanjutkan cerita dengan sendirinya.

"Apa gue terlalu egois ya, Nin?"

"Egois soal apa sih Mas? Mas Dyan lho ceritanya setengah-setengah gimana aku bisa ngasih pendapat." Anin protes.

Dyan tertawa kecil mendengar nada bicara Anin yang terasa lucu. Terlebih gerak bibirnya yang agak manyun-manyun itu membuat perut Dyan sedikit tergelitik.

"Ah, lo mah nggak bakal ngerti sih."

"Ya, mana bisa aku ngerti kalau Mas Dyan nggak cerita secara gamblang. Yang jelas dong, Mas! Jangan ambigu gini."

WAY: Who Are You S2 [✓]Where stories live. Discover now