Chapter 4

3K 665 169
                                    

P E M B U K A


Setelah acara inti pesta perayaan ulang tahun Camelia berakhir, Jethro memisahkan diri untuk mengurus sesuatu. Cowok itu menyusuri lorong gelap menuju ruang bawah tanah bersama dua bodyguard. Satu memimpin di depan, sementara satu di belakang. Ini memang sudah sangat terlambat, tapi Jethro tetap berbaik hati membawakan penawar racun untuk Narendra. Barangkali cowok itu masih hidup dan membutuhkannya. Akan dia beri penawar racun ini dengan cuma-cuma.

Begitu pintu dibuka dan penerangan dinyalakan, Jethro menemukan Narendra tergeletak di sudut ruangan. Cowok itu sudah kehilangan kesadaran dengan kondisi sangat mengenaskan bersama genangan darah bersumber dari mulut dan hidung. Lewat gerakan jari, dia meminta bodyguard untuk memeriksa Narendra masih hidup atau sudah tewas.

"Masih hidup, Tuan Muda."

Hanya selang beberapa detik saja setelah mendapat jawaban itu, Jethro mengayunkan satu kaki. Menendang perut Narendra bagian samping guna menarik kesadaran cowok itu.
Di tendangan pertama, dia tidak mendapat reaksi apapun hingga membuatnya kembali menendang. Kali ini dengan tenaga lebih kuat dan baru berhenti ketika Narendra membuka mata disertai ringis kesakitan.

"Gimana? Panik nggak? Hahaha. Panik lah, masa enggak. Pasti udah mikir bakal mati, kan?" ejek Jethro lalu duduk di kursi dekat dengan tempat Narendra tergeletak. "Sama. Gue juga mikirnya lo udah mati, tapi sayangnya belum. Mungkin Tuhan pengin liat lo disiksa lebih lama lagi. Kira-kira harus pake cara apa lagi? Ada saran?"

Narendra sudah tidak memiliki energi lagi. Jangankan untuk merespons Jethro, sekadar mengambil napas saja dia kesulitan sekaligus tersiksa. Di setiap tarikan napasnya ada nyeri hebat bersarang pada dada, seperti ditusuk jarum.

"Ini penawar racun. Tanpa ini, rasa sakit lo nggak bakal hilang. Lo mau?"
Jethro menunjukkan botol kecil berisi cairan berwarna biru.

Kelopak mata Narendra menutup lalu terbuka kembali sebagai jawaban kalau dia menginginkan penawar racun di tangan Jethro. Itu adalah satu-satunya harapannya untuk hidup. Pada cowok itu, dia tunjukkan tatapan memelas disusul air mata yang berlomba-lomba keluar dari pelupuk mata. Berharap ini bisa mengetuk hati Jethro untuk memberi rasa kasihan padanya. Lama menunggu tapi cowok itu hanya diam saja, Narendra gunakan energi yang tersisa untuk mendekati Jethro.

"Saya mohon, Tuan Muda. Saya masih punya ibu dan adik," mohonnya dengan suara lirih, terdengar seperti bisikan.

"Mau banget?"

"Iya, Tuan Muda," jawab Narendra sembari menyentuh leher. Tenggorokan keringnya terasa panas dan perih setiap kali dia berbicara. "Tolong, Tuan Muda."

"Bangun, ambil sendiri," kata Jethro. Botol kecil dia letakkan di atas telapak tangan kiri yang terjulur.

Dalam kondisi normal itu tidaklah tinggi. Tapi dengan kondisi tubuh seperti sekarang, Narendra merasa itu sangatlah tinggi. Bagaimana dia bisa menggapainya kalau bergerak sedikit saja tubuhnya sangat kesakitan?
"Tuan Muda ...."
Tiba-tiba suaranya hilang.
Rasa sakit di tenggorokannya semakin parah.

Cross the LineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang