3

10.6K 802 23
                                    

Sudah tiga hari lamanya Gara terkurung di ruang rawat inap. Dia bosan sebenarnya, apalagi kakeknya tak kunjung datang selama tiga hari ini.

Hanya ada kabar dari para bawahannya saja. Mereka mengatakan bahwa kakeknya sedang sibuk akhir-akhir ini.

Gara sendiri tak peduli, toh kalau kakeknya itu mau datang pasti juga akan datang. Gara memilih mengambil kuas dan mulai melukis sesuatu pada kanvas. Jari-jari lentik bak milik perempuan itu menari dengan indah bersamaan dengan kuas yang berada di tangannya.

Suara pintu terbuka tak mengalihkan atensinya sedikit pun. Dia terus melukis dengan tenang. Bahkan rintik hujan di luar pun tak dapat mengganggunya.

"Cucu nenek sedang apa?" Tanya seorang wanita tua.

Gara terkejut mendengar suara itu kemudian berbalik menatap sang nenek. Matanya berkaca-kaca melihat sang nenek berada dihadapannya.

"Nenek tau, biarkan saja mereka ya. Biar Tuhan yang membalasnya, cucu nenek sangat kuat. Cucu nenek hebat" ujar Lina memeluk tubuh Gara.

Gara menangis di pelukan sang nenek, dia menangis pilu mengingat kejadian kemarin dan sebelum-sebelumnya. Ingin rasanya dia mengeluarkan suaranya dan mengadu pada sang nenek tapi dia tak mampu. Rasa sakit selalu mendahuluinya sebelum ia membuka suara.

"Anak baik, jangan menangis" ujar sang nenek.

"Gara tau, gara itu anak yang paling kuat di antara mereka. Anak yang selalu dibanggakan oleh bunda Gara"

"Gara anak yang baik, Gara juga sumber kekuatan bagi bunda Gara"

"Gara kecil kami telah tumbuh dewasa rupanya. Bunda pasti sangat senang melihat Gara yang begitu kuat" ujar Lina.

Dia mengatakan itu semua sembari menahan tangisnya. Suaranya bergetar, bahkan ia sudah hampir menumpahkan air matanya. Tapi ia tahan, ia tak boleh menangis didepan Gara.

Lina tak melepaskan pelukannya pada Gara, dia mengusap Surai hitam milik cucunya itu. Gara sendiri menangis sampai rasa sesak di dadanya sedikit berkurang.

Dia merasakan kepalanya begitu sakit, bahkan hampir saja terjatuh jika sang nenek tidak menopang tubuhnya. Dengan hati-hati Lina membawa Gara ke ranjang, kemudian membantunya berbaring.

Wajah anak itu sangat tirus, tubuhnya begitu kecil. Lina tak kuat lagi menahan air matanya. Dia menangis dengan pelan takut membangunkan Gara yang kini telah tertidur.

Perban yang melilit di setiap bagian tubuh Gara membuatnya bisa merasakan sakit yang sama dengan sang cucu.

"Tunggu sebentar lagi ya Gara, aku yakin kakek mu akan membawamu keluar dari lingkaran iblis itu" ujar Lina.

Dia berdiri dan mengecup dahi Gara yang tertutup perban. Kemudian keluar dari ruangan Gara.

Lina terkejut melihat suaminya yang berdiri di depan pintu ruangan Gara. Sepertinya pria itu hendak masuk tadi.

"Apa.. dia tertidur?" Tanya Aryo.

"Ya" jawab Lina tanpa menatapnya.

Aryo hendak masuk lagi sebenarnya tetapi Lina menghalangi jalannya. "Jangan mengganggunya, dia butuh istirahat. Jika kau manusia tolong, setidaknya biarkan dia beristirahat sejenak" ujar Lina kemudian pergi.

Mendengar itu hati Aryo berdenyut sakit, rasanya seperti di tusuk ribuan jarum. Jika kau manusia katanya, memang seberapa bajingannya dia selama ini.

Aryo tetap masuk ke dalam ruangan Gara. Dia melangkah dengan pelan menuju ranjang Gara. Dengan hati-hati dia duduk di samping Gara.

Dia meneliti setiap perban yang melekat pada tubuh Gara. Melihat wajah Gara membuat hatinya semakin sakit. Jujur saja dia juga merasa tersiksa melihat keadaan Gara yang seperti ini.

Apalagi ketika ingat bahwa dia juga sering membentak cucunya yang ini. Rasanya pasokan oksigen di sekitarnya semakin menipis saja.

"Anak kuat tidak akan pernah menyerah" ucap Aryo pelan.

"Setelah ini selesai, pergilah sejauh mungkin Gara. Jangan gunakan marga Aksara lagi, karena pada saat itu tiba kau bukan lagi bagian dari Aksara" ujar Aryo.

Setelah mengatakan itu, Aryo bangkit tetapi sesuatu yang menarik membuatnya mendekati itu. Dia melihat lukisan Gara yang baru setengah jadi itu. Sedangkan kanvas lainnya masih kosong. Tanpa seizin Gara, Aryo membawa pulang lukisan itu.

Gara membuka matanya tepat setelah dia mendengar suara pintu tertutup. Menatap keluar jendela yang masih menampakkan gerimis kecil.

"Semua orang ingin aku mati, tapi sebagian dari mereka menginginkan ku pergi" ujarnya pelan.

"Gara anak kuat, apanya. Tetap saja Gara ini lemah, anak ini hanya pintar menyembunyikan" lanjutnya.

***

Pagi ini di mansion Aksara sangat hening. Tak ada canda tawa atau teriakan dari mereka. Mereka melakukan semua aktivitas dalam diam. Mulut mereka tertutup rapat seolah-olah terkunci oleh sesuatu.

Sedangkan pria tua yang tengah duduk membaca koran dan menikmati secangkir kopi itu tak peduli akan sekitarnya.

Padahal suasana itu terjadi karena adanya dirinya, Setyo. Saat semua orang sudah berkumpul di meja makan, mereka semua mulai makan.

"Ayah, Via ingin itu. Tolong ambilkan" ujar Via memecah keheningan.

"Via yang ini juga belum habis sayang, habiskan dulu ya" ujar mamanya.

"Tapi mama Via ingin makan itu, gak mau yang ini. Ini gak enak" rengeknya.

Tak!

Suara sendok di letakkan dengan kasar membuat mereka semua semakin diam. Lagi-lagi Setyo, dia berdiri kemudian meninggalkan mereka.

"Lanjutkan makan, kemudian berangkatlah" ujar Aryo.

***

"Sudah boleh pulang? Benarkah? Dokter gak bohong kan?" Tanya Gara beruntun.

Pagi ini dia sangat senang karena sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter. Setidaknya dia tidak akan terkurung di ruangan ini lagi.

"Benar, tapi jangan lupa minum obatnya dan rawat lukanya ya. Jangan lupa untuk mengganti perbannya" ujar sang dokter dengan ramah.

Gara tersenyum senang membuat sang dokter dan perawat itu ikutan tersenyum. Pasalnya selama di rawat Gara tak pernah tersenyum pada siapapun. Bahkan dia seperti mayat hidup.

"Terimakasih banyak dokter" ucapnya.

Dokter itu mengangguk kemudian keluar dari ruangan Gara. Setelah dokter itu pergi, ekspresi Gara berubah. Kini tak ada lagi senyuman itu. Yang ada hanya ekspresi takut di wajahnya.

***

Vote!

G A R AWhere stories live. Discover now