5

9.6K 734 6
                                    

Gara terdiam mendengar suara Abang sepupunya itu. Dia tidak berniat membela dirinya sendiri. Toh benar atau salah dia pasti di hukum nantinya.

"Jawab sialan! Apa yang kau lakukan pada Via hingga dia menangis seperti ini!" Bentak Angkasa.

"Tidak ada, dia menangis sendiri" jawab Gara.

"Kau pasti berbohong! Tidak mungkin Via menangis jika kau tidak menyakitinya!" Ujar Angkasa.

Lihat! benar bukan apa yang dipikirkan Gara, salah atau benar pun dirinya suaranya tidak akan didengar oleh siapapun.

"Terserah" ucap Gara.

Sedangkan Via, gadis itu takut pada Abang sepupunya. Dia takut jika dia membela Gara, Gara justru akan semakin tersakiti. Tapi jika dia tidak membela Gara, Gara juga tetap tersakiti. Sama seperti Gara, pembelaan Via tidak akan pernah didengar oleh siapapun.

Angkasa mengangkat tangannya hendak menampar Gara, tapi tangannya tiba-tiba di cekal begitu erat oleh seseorang.

"Sshh.. Ka-Kakek" ujar Angkasa gugup.

Bagaimana tidak, kini Setyo mencekal tangannya begitu erat bahkan sampai terasa sakit. Belum lagi tatapan tajam Setyo seakan-akan bisa membunuhnya saat ini juga.

"Apa yang kau lakukan? Apa aku mengajarimu seperti itu?" Tanya Setyo.

Angkasa menunduk tak berani menatap sang kakek. Benar, bagaimana pun juga tak ada satu pun dari Revandra yang pernah menyakiti Gara secara fisik.

"Ma-maaf" cicitnya.

"Kembali ke mansion Revandra dan terima hukuman mu" ujar Setyo.

Via bernafas lega mendengar sang kakek membela Gara. Sedangkan Angkasa kini menatap tak percaya pada Setyo. Hukuman dari Setyo, bukan main-main.

"Tapi-"

"Aku tak menerima penolakan!" Tegas Setyo.

Angkasa menunduk lagi, dan kini bahkan dia digiring oleh asisten sang kakek untuk pulang ke mansion Revandra. Sore ini Setyo juga akan pulang ke mansionnya.

Gara menatap Setyo sejenak kemudian melanjutkan langkahnya, meninggalkan Via dan Setyo. Gara tak peduli mau ada yang membelanya ataupun tidak. Hasilnya akan tetap sama, keluarga intinya hanya ingin dirinya mati.

***

Selesai mengambil minum, Gara hendak kembali ke kamarnya. Tapi saat melewati taman belakang dia justru berbelok ketika melihat sunset yang begitu indah. Gara meletakkan minumnya di bangku taman kemudian duduk.

Dia menatap sunset dengan tatapan kosongnya. Pikirannya sangat kacau, hatinya benar-benar berantakan. Dia mengepalkan tangannya merasakan sakit di kepalanya.

"Apa yang kau lakukan disini, merusak pemandangan saja" ujar seseorang di belakang Gara.

Gara menoleh ke belakang mendapati Gabriel sang ayah yang tengah menatapnya tajam. Tak mempedulikan Gabriel dia menatap sunset kembali. Gabriel sendiri tak peduli juga, dia hendak pergi.

"Ayah.." panggil Gara pelan.

Gabriel berbalik mendengar panggilan dari Gara itu, hatinya berdenyut sakit secara tiba-tiba ketika mendengar suara Gara yang begitu lemah.

"Duduklah sebentar, Gara ingin berbicara. Tak akan lama, Gara janji"

Meskipun enggan Gabriel tetap duduk di samping Gara, mengikuti arah pandang Gara yang memandang sunset.

"Gara tau, Gara gak boleh nyerah. Karena Gara anak kuat" ujar Gara pelan di akhiri kekehan kecil.

"Tapi Gara bukan manekin, Gara makhluk hidup. Ada kalanya Gara merasa muak"

Gabriel diam mendengar setiap perkataan yang keluar dari mulut Gara.

"Kenapa ayah gak izinin Gara buat ikut kakek Setyo?"

"Kenapa Yah? Bahkan setelah kakek sendiri yang datang kesini dan memintanya?" Tanya Gara.

Benar! Alasan Setyo di sini karena dia ingin meminta hak asuh cucunya. Dia sudah muak dengan perlakuan menantunya pada cucunya itu. Sayangnya Setyo kalah telak, Gara di ancam lebih dulu oleh sang ayah.

"Urus urusan mu sendiri dan jangan pernah sekalipun keluar dari pengawasan ku, jika aku mengetahuinya maka ku pastikan itu hari terakhir mu-"

"Ya udah kalo gitu Gara mau keluar dari pengawasan ayah aja, biar cepat ketemu bunda" potong Gara.

"Maka keluarlah dan hari itu juga kau akan mendengar kabar kematiannya" ucap Gabriel dengan seringai puas.

Gara terdiam mendengar perkataan Gabriel. Dia mengepalkan tangannya saat mengetahui arah pembicaraan Gabriel.

"Ayah memang kejam" kesal Gara.

Gabriel tersenyum sinis tanpa melihat ke arah Gara. Gara berdesis pelan kala merasakan sakit kepala yang semakin menjadi. Gabriel sendiri dia hanya melirik tanpa mempedulikannya.

"Ayah, aku pastikan Ayah yang paling menyesal setelah Gara pergi" ucapnya pelan.

***

Malam harinya, Gara tidak turun untuk makan malam. Lagi-lagi dia makan ditemani Steve. Kali ini dia makan sendiri tanpa bantuan Steve.

"Tuan muda, setelah ini biarkan saya merawat luka anda" ujar Steve.

Gara mengangguk, lagi pula dia juga tidak dapat merawatnya sendiri.

"Tuan muda, apa anda ingat dulu anda begitu cengeng" ujar Steve mencoba berbicara dengan Gara.

"Paman masih mengingatnya?" Tanya Gara.

"Benar, rasanya baru kemarin saya melihat anda merengek meminta permen. Sekarang anda telah tumbuh menjadi anak yang hebat" ujar Steve terdengar sendu.

Steve mulai bekerja dengan keluarga Aksara semenjak Gara berusia 5 tahun. Dari semua bodyguard hanya Steve yang begitu dekat dengan Gara.

Dulu Gara tak segan meminta apapun pada Steve. Karena Steve juga begitu menyayangi Gara. Tapi sekarang sepertinya harus dipikirkan lagi jika ingin meminta sesuatu.

"Selesai" ucap Gara.

Dua Maid datang dan membereskan bekas makan Gara. Sedangkan Steve mulai mengganti perban Gara.

Dia melakukannya dengan begitu hati-hati. Takut jika salah gerak sedikit saja akan membuat Gara merasakan sakit.

"Paman, kenapa paman tidak menikah lagi?" Tanya Gara.

Steve terdiam cukup lama, mungkin sedang merangkai kata kata yang tepat.

"Begini tuan muda, meskipun saya menikah lagi perasaan saya tidak pernah bisa berubah. Saya tidak takut, hanya saja saya tidak ingin menyakiti perasaan seseorang apalagi seorang wanita" jelas Steve.

Gara mengangguk paham kemudian menatap luka-lukanya yang kini tak terhalang perban lagi.

"Paman, bolehkah menjadi orang jahat?" Tanyanya lagi.

Steve terkekeh pelan mendengar pertanyaan itu. "Untuk apa?" Tanyanya balik.

Gara terdiam, matanya melihat ke langit-langit kamarnya. "Membalas dendam" jawabnya.

"Tidak boleh" jawab Steve tanpa ragu.

"Kenapa?" Tanyanya lagi.

"Lalu kenapa harus merepotkan diri menjadi orang jahat hanya untuk membalas dendam, sedangkan Tuhan tau setiap balasan yang setimpal untuk mereka" jelas Steve yang tanpa sadar mengarah ke orang-orang yang menyiksa Gara.

Gara diam, benar juga apa yang dikatakan Steve. Untuk apa merepotkan diri jika Tuhan saja lebih tau.

***

Vote!!!!

G A R AWhere stories live. Discover now