⌕03 ♪Lancar

29 9 18
                                    

"Apa?"

Hanya ada tiga orang tersisa di ruang ekskul musik setelah ketua ekskul, Gamaliel menutup pertemuan mereka hari ini. Ruangan itu bahkan hanya terasa kosong dengan banyaknya alat musik yang berada di ruang penyimpanan. Udara dingin dari AC perlahan menusuk tubuh setelah jumlah orang yang berkurang di ruangan itu.

"Band. Kami bakal bikin band. Dan kami milih lo buat gabung sebagai drummer." Gadis dengan rambut bermodel jamur itu mengulangi kalimatnya untuk yang kedua kalinya. Ia tersenyum sangat manis, layaknya yang dibicarakan orang-orang sebagai primadona sekolah.

Reza tidak bisa meyakini apa yang ia dengar untuk kedua kalinya. Baginya, Gamaliel dan Sena adalah kakak kelas yang terlalu keren. Mereka berdua berada di level yang jauh lebih tinggi darinya. Baginya mana mungkin ia bisa mengimbangi permainan duo maut itu.

"Lo ngerasa apa, sih? Muka lo itu nunjukin semuanya kalau lo ga yakin sama yang kita bilang. Bermusik itu bukan berarti harus menyamakan level permainan. Tapi menyeimbangkan." Gamaliel mendekatkan dirinya pada Reza. Memberikan intimidasi yang mendalam pada adik kelasnya itu.

"Gamal," ujar Sena pelan. Ia menarik mundur Reza dan merangkulnya. "Ingat perjanjian kita buat ngajakin adik kelas masuk ke dalam band."

"Ck," decak Gamaliel, lantas mundur beberapa langkah.

Sena lantas tersenyum dan melepas rangkulannya. "Kurang lebih yang dibilang Gamal bener, Jak. Setiap permainan itu menyeimbangkan permainan yang lain. Basis menyeimbangkan permainan gitar, dan drum menyeimbangkan permainan gitar dan basis. Band itu bukan berarti semuanya harus berada di level yang sama, tetapi menyeimbangkan setiap permainan yang ada di dalamnya."

Sena mengalihkan pandangannya, menatap Gamaliel yang terlihat sedikit lebih tenang daripada sebelumnya. Tangannya sudah masuk ke dalam saku celana dan tatapannya kini tertuju pada adik kelasnya kembali.

"Kami selalu memperhatikan para anggota ekskul. Ada banyak yang memiliki permainan alat musik yang bagus, tapi sifat mereka terlaku buruk untuk direkrut." Gamaliel terdiam, membuat Sena tertawa. Gadis itu seolah tahu apa kelanjutan kalimat tersebut, tetapi pemuda itu tidak mau melanjutkannya. Harga dirinya terlalu tinggi untuk mengatakannya.

"Tapi lo selalu merasa lebih rendah dari yang lainnya. Padahal lo punya skill yang lebih tinggi daripada yang lain. Makanya, Jak. Kami mau ngajak lo buat gabung ke band kami. Band ini bakal berisi empat orang, dan kamu hanya anggota terakhir yang kami cari, sang drummer. Kamu berminat, kan?"

Reza mengangguk pelan. Dengan degupan jantung yang semakin kencang, ia benar-benar menerima tawaran itu meskipun diisi oleh kakak kelasnya dan merasa terintimidasi dengan kemampuan yang mereka semua miliki. Namun, baginya saat ini ia tidak boleh melewatkan kesempatan apa pun untuk bergabung ke sebuah band.

Sepulang dari sekolah, Reza menemukan Iqbal yang sedang memutar lagu JKT 48 dan berkaraoke ria seolah tidak ada penghuni lain di kos. Pemuda itu bahkan menyapa Reza seolah tidak ada masalah apa pun dengan suaranya.

"Bang, Iqbal. Mau nanya. Kan abang suka lagu-lagu gitu, kan, kadang juga di studio musik pasti tau banyak kenalan musisi gitu. Abang tau label rekaman Virtual Records?"

Iqbal mematikan lagunya sejenak lantas mengangguk. "Kalau enggak salah sih mereka di bawah naungan agensi Virtual juga. Tapi Virtual Records itu musisinya hanya berperan sebagai penyanyi tetap, enggak kayak di agensinya yang harus streaming berbagai konten gitu."

Sebenarnya Reza masih kurang mengerti penjelasan itu. Tanpa ia sadari, ia memiringkan kepalanya, menandakan kebingungan itu.

"Gini, deh simplenya. Ada sebuah agensi Youtuber yang streamernya itu Virtual, alias gambar bergerak. Agensi ini buka sebuah label rekaman bernama Virtual Records yang di mana yamg menjalin kontrak dengan mereka itu hanya seorang musisi, bukan streamer yang sama di agensinya. Tapi tetap, dengan kondisi penyanyinya hampir 80% adalah gambar yang bergerak."

Reza menepuk tangannya sekali, menandakan bahwa ia mengerti penjelasan tersebut. Membuat Iqbal tersenyum dan tertawa renyah,  menyadari betapa lamanya remaja itu bisa mengerti penjelasannya.

"Kenapa tuh nanya-nanya itu?"

"Oh, engga itu, Bang. Mau magang, terus kemarin letak surat magang di sana. Pengen tau aja sistemnya sih," balas pemuda itu sembari memasukkan tangannya ke dalam saku jaket.

Iqbal mengangguk santai, perlahan menyalakan kembali lagu yang dipopulerkan oleh JKT 48 itu, tetapi masih dengan suara yang kecil. "Intinya dari mereka mah, ngejaga privasi, Jak. Karena privasi talent mereka itu yang membuat mereka berharga. Semangat"

Reza tersenyum simpul, lantas mengangguk. "Makasih ya, Bang!" lantas Reza kembali masuk ke dalam kamarnya, samar-samar ia bisa kembali mendengar suara Iqbal yang berkaraoke di luar kamar.

Terlepas dari semua itu, Reza mulai memasang earphone bluetooth-nya dan mendengarkan lagu bergenre indie. Kepalanya perlahan mulai memikirkan banyak kata. Ia menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Matanya tertuju pada langit-langit kamar dengan embusan kipas angin yang mengenai tubuhnya.

Reza memutuskan untuk Bersekolah di Jakarta demi lapangan kerja yang bagus. Seperti kata orang dulu-dulu. Mengadu nasib di ibu kota. Reza mendapatkan saran untuk bersekolah di Jakarta karena prospek kerja musisi di Jakarta cukup bagus. Oleh sebab itu, ia perlu mencari kesempatan besar saat bersekolah. Magang di label rekaman dan membuat band. Sekolah langsung di sekolah musik membutuhkan biaya yang jauh lebih tinggi dan ia berusaha menghindari itu.

Namun, jika ia gagal, ia harus terima kenyataan tentang keputusan keluarganya terhadap dirinya.

Reza perlahan mengedipkan matanya ketika mendengar suara nada dering yang masuk, mengheningkan suara lagunya sejenak. Pemuda itu lantas duduk untuk memeriksa pesan masuk yang ada. Lalu tanpa ia sadari matanya terbelalak kaget membaca pesan tersebut.

Kemudian di saat yang bersamaan juga, panggilan telepon atas nama Andi masuk. Reza dengan segera menjawab telepon tersebut dengan kabar yang saling beradu.

"Gue ditolak magang di sana."

"Gue keterima magang di sana!"

Lalu suara hening di antara keduanya. Seolah merasakan suasana yang berbeda setelah memberikan kabar tersebut.

"Sorry .... Harusnya gue gak excited gini," ucap Reza pelan, merasa tidak enak kepada temannya itu.

Andi tertawa renyah. "Kenapa minta maaf anjir. Santai aja kali. Kalau gitu gue matiin dulu, mau nanya anak-anak lain yang mungkin masih ada sisa slot buat masuk ke tempat mereka."

"Oke. Semangat, Di."

Andi tidak membalas apa-apa, kemungkinannya pemuda itu hanya mengangguk di sebrang sana lantas mematikan panggilan itu.

Reza menghela napas panjang, lalu mengembuskan kayaknya mengeluarkan asap dari mulutnya. "Kenapa bersosialisasi itu  susah banget," gumamnya sangat panjang. Seolah merasa sangat kesal dengan dirinya yang merasa tidak enak pada Andi. Padahal keduanya sama-sama memasukkan surat magang di sana, tetapi hanya dirinya yang diterima. Ia merasa tidak enak pada hal hang keputusan itu hanya bisa diputuskan oleh orang dari tempat tersebut.

"Bertahanlah, Reza," ujarnya untuk dirinya sendiri.

♪ ♪ ♪ ♪

Ceruk KosanWhere stories live. Discover now