24 - Akhir Kisah

412 62 13
                                    

Jalan-jalan sore ternyata gak begitu buruk. Suasana hati yang gak kunjung membaik lumayan segar sesaat. Setidaknya begitu,  sampai aku melihat Rexi muncul.

Pria itu mendatangiku. Katanya, dia sudah dari rumah. Ibuk yang memberitahu kalau aku sedang di luar, jalan-jalan. Dan dia menyusul.

"Kamu mau kita bicara di rumah atau di tempat lain?" Dia langsung bertanya begitu.

Aku menelan ludah. "Di luar aja." Aku segera naik ke motornya.

Sepanjang jalan, aku berusaha mengatur napas dan emosi. Cepat atau lambat ini harus dihadapi. Gak selamanya aku bisa menunda mendengar Rexi memberi keputusan.

Aku berusaha yakin padanya. Pria itu bijaksana. Dia pasti bisa menemukan solusi atas situasi kami. Kalaupun  dia memilih kembali pada Sofi, aku akan berusaha untuk meneri--gak! Aku gak rela dia balikan dengan Sofi.

Rexi membawaku ke sebuah warung es. Dia memesan dua es kelapa, tanpa meminta persetujuanku.

Pesanan datang, aku menghabiskan setengah gelas, sebelum Rexi bicara. Niatnya ingin pesan satu lagi, persiapan kalau-kalau sesak napas setelah mendengar Rexi bicara. Sekalian mendinginkan kepala, agar apa pun yang Rexi utarakan nanti bisa kucerna dengan baik.

"Ngapain banyak-banyak? Minum punyaku aja." Dia menggeser gelas miliknya padaku.

Aku mengangguk. Kuremas jemari yang ada di pangkuan. Aku siap mendengar dia memberitahu nasib akhir hubungan kami.

"Aku nggak sangka kalau kamu akan ngomong kayak semalam." Dia memulai.

Apalagi aku, jawabku dalam hati. Mana pernah aku membayangkan akan memohon-mohon pada lelaki? Kalau dipikir ulang, kenapa aku memalukan sekali, ya?

"Aku harus mengusakan sesuatu yang menurutku penting," kataku dengan muka tebal. Menunjukkan kalau aku juga malu adalah jalan salah. Dia bisa tambah meremehkanku.

Sengaja aku bicara tanpa menatap dia. Aku memandangi tepian meja. Otakku bekerja dengan sangat keras. Dan dentam jantungku juga berpacu kencang.

"Satu lagi," kataku. "Aku juga punya sesuatu yang mau diceritakan."

Kalau Rexi punya masa lalu, aku juga. Dan hari ini, detik ini, aku ingin membaginya dengan Rexi.

"Alasan aku gak sampai lulus kuliah." Aku menelan ludah hati-hati. Rexi memasang ekspresi serius di depanku.

Aku berdoa. Sama seperti aku yang berusaha menerima masa lalu Rexi, semoga pria itu juga mau mengerti apa yang aku ceritakan. Kalaupun gak demikian, ya, haruslah demikian. Aku memaksa.

Aku mulai bercerita. Soal gosip yang sempat menyebar di kampus dulu. Soal desas-desus kalau aku yang jadi orang ketiga di rumahtangga salah satu dosen.

"Kami gak dekat. Hanya bertemu beberapa kali, karena beliau itu dosen pembimbing akademik. Aku ketemu kalau di awal semester, untuk minta tanda tangan rapot."

Masalah datang saat Pak Ridwan ditunjuk sebagai dosen pembimbing skripsinya Serena. Beberapa kali Serena mengajakku ikut menemani. Dan itulah sumber masalahnya.

Pak Ridwan itu ternyata bulus. Dia sering memanfaatkan mahasiswa, terlebih mahasiswi demi kepentingan pribadinya. Serena menjadi salah satu korban.

"Serena duluan mengajukan judul penelitiannya. Udah beberapa kali mengajukan, Pak Ridwan gak meng-ACC satu pun. Tanpa alasan." 

Ternyata, Pak Ridwan sengaja. Dia memberikan syarat pada Serena. Kalau ingin judul penelitian segera disetujui, maka Serena harus mau bermalam dengan Pak Ridwan.

Say Yes? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang