PROLOG

75 16 44
                                    

JÙITA Gallery yang bertempat di kota Bandung sebagai destinasi utama Aura Ratu Kinasih untuk mengisi kembali energi setelah beraktivitas berat sehari penuh. Jùita Gallery buka dari Senin hingga Jumat pukul 9 pagi sampai 10 malam. Aura lebih sering datang pukul 5 sore setelah beres kuliah.

Aura mencintai seni, seni apapun, terlebih seni rupa. Adapun kala berada di museum Aura paling senang dengan suasana tenang nan damai, harum museum, pula deretan karya yang memanjakan mata. Berjalan-jalan mengelilingi ruang demi ruang, menatap lamat-lamat karya demi karya, dan membaca setiap sejarah dari masing-masing seni.

Begitu banyak tampilan seni lukis dengan gaya yang berbeda-beda serta tersirat sebuah makna. Kini Aura berdiri tegap menyilangkan kedua tangan memandang lekat sebuah lukisan yang cukup asing selama Aura selalu mendatangi galeri seni ini. Aura tak tahu siapa sang maestro lukis karena tak tertera namanya. Aura menyelisik lama lukisan itu dari titik, garis, bidang, bentuk, warna, tekstur, nada gelap-terang dan ruang. Unik dan baru.

"Siapa yang lukis?" Monolog Aura. Kepalanya terteleng sedikit.

"Karya Van Eindhoven," celetuk seseorang menghampiri Aura. "Kamu tau dia?"

Aura menggeleng. Tentu tidak. Nama yang asing bagi Aura yang beramsumsi maestro lukis itu adalah orang Belanda sebab terdapat nama "Van" di sana. "Dari namanya sih kayaknya orang Belanda, ya?"

"Exactly! Setau saya Van Eindhoven atau dipanggil Vanhov itu maestro pelukis terkenal di Belanda pada masanya," katanya.

"Pada masanya?" Aura menoleh. Terlihat alisnya tertekuk menyatu.

"Ya, karena Vanhov tahun lalu hilang kabar." Jelas pria itu dibalas anggukan paham oleh Aura. " Seneng rasanya karya Vanhov dikoleksi Jùita Gallery. Berharap orang Indonesia banyak tau pelukis hebat satu ini."

Aura memanggut-manggut setuju. "Aku langsung suka sama karyanya, unik dan estetik. Yang paling aku sukai itu garis segii dan tekstur warnanya, memukau." Aura tersenyum. Pandangannya tak luput dari lukisan karya Van Eindhoven itu.

Pria itu diam-diam memandangi Aura lurus. Selama beberapa detik sebelum ia membuka suara.

"Wolk duik," Aura menoleh, pandangan pria itu tertuju pada lukisan Vanhov. "Artinya menyelam di awan, nama dari lukisan ini." Sedikit jeda sebelum ia kembali berbicara. "Pesan yang tersirat adalah imajinasi belaka manusia yang gak pernah nyata, tapi menaruh harapan besar di mana harapan itu pematah dari segalanya," kepala pria itu tertoleh. Aura yang terciduk pun tersentak kaget dan segera memalingkan muka canggung.

Pria itu terkekeh kecil. "Banyak anak kecil yang bilang awan itu permen kapas ataupun ranjang empuk. Padahal nyatanya awan itu kepulan biasa yang mudah ditembus. Kamu paham 'kan?"

Aura mengangguk, kemudian tersenyum. "Paham. Awan sebagai imajinasi dan harapan, menyelam itu tujuan manusia yang dengan dia menyelami awan nyatanya akan jatuh dan berakhir hilang harapan, yakan?"

Keduanya bersitatap. Pria itu lalu mengangguk seraya tersenyum hangat. Kurva manis yang menghiasi wajah itu, mendadak menghadirkan desiran aneh dalam dada Aura. Aura meneguk saliva. Memutus kontak mata sebab degupan jantungnya tiba-tiba bertempo cepat. Aneh.

"Kalau boleh tau, kamu tau dari mana semua informasi tentang Vanhov?"

Kedua tangan pria itu merosot masuk ke dalam saku celana. "Saya asli Belanda, lahir di Amsterdam. Dibesarkan di Indonesia. Kebetulan Vanhov alumni kampus saya."

Aura tertegun. "Pantes bahasa Indonesia kamu lancar banget!" Apresiasi Aura bangga.

"Makasih. Kamu sendiri?"

AN ART GALLERY On viuen les histories. Descobreix ara