02 ; Schaduwen Van Het Verleden.

29 10 37
                                    

AURA menggeser ikon hijau dari panggilan yang baru saja datang menelepon. Benda pipih elektronik itu ia letakkan pada telinga.

"Halo, Pa?"

"Aura, kamu di mana?" Suara Rahardi atau dikenal sebagai Ayah Aura muncul dari seberang.

"Lagi di rumah Om El, Pa. Kenapa?"

"Syukur kalo di rumah Om El. Papa cuma mau ngabarin malem ini Papa lembur, bakal netap di kantor sampai pagi. Aura sementara nginep di rumah Om dulu, ya? Besok pagi Papa jemput."

"Aura bisa sendiri di rumah. Lagian di rumah Om El cuma mau jenguk Kak Abim aja."

"Kunci rumah ada 'kan?"

"Ada kok."

"Mau dianter sama supir Papa aja?"

Aura menggelengkan kepala. "Gak usah, Aura bisa pesen ojol."

"Yaudah, asal hati-hati. Papa tutup, ya?"

"Iya, Paaa."

Pip!

Aura menyimpan ponselnya ke tempat semula di dalam tas selempang lalu kembali masuk ke dalam kamar Abim. Abim berada di atas ranjangnya tengah mengunyah buah apel. Ketika melihat presensi Aura atensinya teralih.

"Sini, Ra. Makan buah bareng."

"Aku mau pamit deh, Kak."

Abim melirik jam dinding. Pukul setengah 11 malam kemudian menatap Aura lagi. "Yakin pulang jam segini? Kenapa gak nginep aja?" Alis Abim tertaut.

Aura menghampiri Abim. Mendaratkan bokong di sisi ranjang, tangannya mencomot satu potongan buah apel yang baru saja Abim belah. Di sela kunyahan, Aura berbicara. "Akhu lwupha adha twughas dhari dowsen," aku lupa ada tugas dari dosen—Aura menekuk bibir, cemberut.

"Deadline-nya kapan?" sambil memotong apel Abim bertanya.

"Jham emffat pagih!" jam empat pagi—Aura semakin bete. Mengingat tugas dari dosen yang belum ia selesaikan sedangkan deadline mengejarnya. Aura menelan kasar kunyahannya kemudian mengembuskan napas. "Pamit, ya? Kak Abim sehat-sehat, oke?" Tangan Aura terkepal ke arah Abim, tos sebagai salam perpisahan.

"Biar Ian aja yang anter kamu pulang—"

Mata Aura mendelik. "Hah? APA? KAK IAN? GAK! GAK. Makasihhh. Dadah Kak Abiiim!" Aura mengibrit keluar dari kamar Abim. Sampai-sampai perempuan itu lupa berpamitan dengan Samuel dan Nara—Istri Samuel.

Aura mengeluarkan ponselnya untuk segera memesan ojek online daripada diantar oleh laki-laki yang Abim sebutkan tadi. Malas sekali. Lebih baik Aura menaiki motor gigi daripada menaiki motor setinggi harapan orang tua.

Belum beberapa menit waktu terlewati ketika Aura sedang menunggu kedatangan ojek online di depan gerbang rumah Abim tiba-tiba bunyi klakson motor melengking menusuk indra pendengar Aura. Aura nyaris melempar ponselnya.

"ASTAGA! KAK IAN!" Aura mengusap dada. Bersyukur organ penting tubuhnya masih bekerja dengan baik. "Ngagetin!"

"Cepet naik," titah laki-laki yang disebut Ian itu. Aura menghela napas.

"Gak usah. Gue udah pesen kuy-jek."

Tanpa permisi Ian menarik ponsel yang berada di genggaman Aura dan menekan fitur cancel dengan mimik sombong sekaligus bangga atas apa yang baru saja ia tindak. Aura melihat kejadian itu spontan mendaratkan satu cubitan keras di bahu Ian.

"MAKSUDNYA APA DI-CANCEL?" Hardik Aura tak terima. Kedua matanya melotot lebar.

"Biar sama gue." Tutur Ian songong.

AN ART GALLERY On viuen les histories. Descobreix ara