2. Two Years Old

429 44 5
                                    

Two years old Jihan

Jihan sering ikut Bunda berbelanja sayuran di pagi hari. Itu karena Jihan selalu mudah terbangun akan suara sekecil apa pun. Jadilah saat Bunda baru membuka pintu, suara rengekan Jihan sudah terdengar hingga mau tak mau Bunda membawa Jihan bersamanya. Abang masih pulas, sedangkan Ayah sedang tak di rumah sejak dua hari lalu karena jadwal panggung di Australia. Kabarnya, Ayah akan pulang hari ini.

Terkadang Bunda berbelanja di supermarket, terkadang di pasar tradisional, terkadang juga di pedagang sayur keliling seperti sekarang. Ada tiga ibu-ibu komplek yang juga tengah memilih sayuran ketika Kanara datang dengan Jihan di gendongan sampingnya.

“Pagi, Ibu-ibu,” sapa Bunda.

Mereka tersenyum dan menyapa balik Bunda. “Pagi, Bu Nara. Waduh si adek pagi-pagi udah ikut bangun aja.”

Bunda tersenyum dan menoleh pada Jihan yang masih memasang wajah bengong. Bunda yakin Jihan masih belum mencerna di mana dirinya berada sekarang. Tangan Bunda menyisir rambut panjang Jihan ke belakang. “Iya, yang kecil satu ini gampang kebangun kalau dengar suara.”

“Abangnya masih tidur ya, Bu?” tanya si ibu berkacamata. Setahu Jihan, ibu ini rumahnya berada di ujung komplek, entah mengapa bisa memilih berbelanja di sini.

“Iya, Bu.”

“Lho? Nggak apa-apa kah ditinggal sendiri? Kan suaminya lagi nggak di rumah?” tanya ibu lainnya yang bibirnya berwarna merah cetar. Jihan tahu rumah Ibu ini tak jauh dari rumahnya. Bisa dibilang mereka tetangga dekat, tapi tidak terlalu. Jihan jarang mampir ke rumah si ibu karena anak si ibu sudah besar semua.

“Saya cuma mau belanja sedikit, Bu, jadinya sebentar aja,” jawab Bunda sambil menyerahkan sayurannya yang telah dipilih ke pedagang.

“Emangnya suaminya kemana, Bu?” tanya ibu satu lagi yang sedari tadi hanya diam, beliau satu-satunya yang memakai daster. Jihan tidak mengenal Ibu ini, mungkin warga sebelah, atau bisa saja warga baru.

“Kamu nggak tau, heh? Suaminya Bu Nara ini artis, lho,” jawab ibu bibir merah.

“Lho, iya, ta? Yang mana, sih? Terkenal nggak?” tanya ibu berdaster.

“Artis band, kesukaannya anak muda. Kalau buat kita mah nggak cocok,” sahut ibu berkacamata.

Mereka mulai membicarakan Ayah seolah tak ada Bunda dan Jihan di sana. Meski Jihan hanya diam, ia mengerti jika ibu-ibu itu tengah membicarakan ayah dan bundanya ketika nama Ayah disebut berulang kali.

Bunda sudah membayar, dan hendak pergi dari sana sebelum salah satu ibu-ibu itu mengajaknya bicara.

“Bu Nara nggak takut kah sekarang lagi banyak artis selingkuh dari pasangannya? Apalagi Pak Jefran sering ke luar negeri buat manggung.”

Bunda sontak balas menatap ibu berdaster itu. Pantaskah pertanyaan itu terlontar? Dua ibu, bahkan pedagang sekali pun langsung menyenggol si ibu ini yang justru merasa tak bersalah.

“Saya percaya sama suami saya, Bu. Jadi ya nggak ada yang perlu ditakutkan lagi.” Alih-alih marah, Bunda menjawab dengan pelan diiringi senyuman.

“Tapi kan nggak ada yang tau di belakangnya gimana, Bu,” sahut ibu itu lagi.

Jihan merasa aneh saat melihat senyum bundanya memudar. “Yingkuh tu apa, Nda?” tanyanya polos. Suaranya tidak cukup pelan, semua orang mampu mendengarnya.

Bunda mengusap surai Jihan. “Itu perbuatan jahat, nggak baik dilakuin.”

Jihan berpikir sejenak. Perbuatan jahat? Kata Abang, jahat itu jelek. Artinya para ibu-ibu ini telah mengatai ayahnya jelek? Enak saja!

Little JihanWhere stories live. Discover now