4. Four Years Old

555 55 18
                                    

Four years old Jihan

Tahun ini Jihan sudah mulai masuk ke masa pre-school-nya, atau Om Naka menyebutnya paud. Senin adalah hari tersibuk untuk keluarga Agnibrata. Ayah dengan pekerjaannya, Bunda dengan galerinya, dan Abang dengan segala macam lesnya. Bahkan untuk menentukan siapa yang akan menjemput Jihan pulang mereka semua mengadakan rapat panjang semalam sebelumnya. Sedangkan yang menjadi topik rapat hanya terduduk berselonjor di sofa sambil menertawai acara masak-memasak di televisi.

Hasil rapat menyatakan Ayah akan membawa Jihan ke basecamp AMOR tepat setelah menjemput anak itu. Ketika ditanya, Jihan setuju dan justru senang. Anak itu langsung memasukkan sepuluh bungkus jeli Haribo, dua kotak yogurt, tiga susu stroberi ke dalam ecobag, dan meletakkannya di bagasi mobil Ayah tanpa permisi. Ayah menggeleng heran saat baru mengetahuinya di pagi hari. Padahal Jihan sudah sering ke basecamp, tapi persiapannya seperti hendak kemah jambore.

Kini Ayah dan Jihan sudah sampai di basecamp. Jihan melongok ke bagasi mobil Ayah. Wajahnya panik. “AYAH, BEKAL DEDE MANA?!” pekiknya.

“Udah Ayah simpan di dalam,” sahut Ayah langsung berhasil menjinakkan Jihan.

Jihan berjalan ke dalam dengan sedikit melompat, membuat dua kunciran rambutnya bergerak seirama. Mendahului ayahnya yang berjalan santai sembari menenteng tas berwarna lilac bergambar unicorn, dan botol minum berwarna senada yang dikalungkan ke leher.

“Eja asu kopi gue mana?!”

Baru masuk Ayah sudah mendengar umpatan kasar Om Naka dari arah dapur. Ayah buru-buru menyamai langkah Jihan yang mengendap-endap, seperti ingin mengagetkan Om-Omnya tanpa peduli umpatan kasar yang didengarnya.

“Kalo nyari mata dipake, ya, anj—”

Ekhem!” Ayah berdeham kencang, mengalihkan perhatian Oom Ezra dan Om Naka yang tengah saling menuding.

Oom Ezra dan Om Naka sontak menoleh ke Jihan yang berdiri tepat di sebelah kaki Ayah. Mereka dengan kompak nyengir. Oom Ezra langsung menepuk lengan Naka. “Makanya, Om Naka ganteng, kalau cari kopi pakai mata kepala, ya, jangan pakai mata najwa,” ucapnya memperhalus.

Om Naka bergidik. “Nggilani,” cibirnya sambil mengambil kopinya yang ternyata teronggok di samping dispenser.

Anak kecil di sana merengut ke arah ayahnya. “Ih, Ayah! Dede kan mau kagetin Om Naka sama Oom Ejla. Jadinya ketauan!”

Ayah terperangah. “Eh?” Tangannya mengusap tengkuknya sendiri. “Maaf, ya, Ayah nggak tau. Mau kagetin ulang nggak?”

Jihan bersedekap dengan alis terangkat. “Ulang gimana?”

“Ya, kita keluar dulu, terus jalan masuk lagi. Nanti Dede kagetin deh Om-Omnya. Gimana?”

Kedua tangan Jihan langsung turun, wajahnya berseri-seri. “Ayah pintal! Ayo, ulang!” serunya sambil berlari kecil ke luar dapur.

Ayah mengarahkan jari telunjuk dan jari tengah ke arah matanya sendiri dan ke arah Om Naka serta Oom Ezra bergantian. Mengisyaratkan mereka untuk mengikuti drama buatan Jihan Ghea.

Om Naka duduk di kursi dapur sambil menyeruput kopinya yang telah dingin, sedangkan Oom Ezra melanjutkan kegiatannya membersihkan kulkas—hukuman dari Om Marven karena kemarin terlambat datang ke tempat program televisi. Mereka berdua menunggu drama dari si kecil dengan sedikit ogah-ogahan.

Tak lama, Jihan datang dengan gestur mengejutkan sambil berteriak, “Oom Ejla asu!”

Bersamaan dengan pelototan mata Ayah, Om Naka tersedak kopinya serta kepala Oom Ezra terbentur pintu kulkas.

Little JihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang