Prologue

79 16 34
                                    

d r e a m c o r e

A novel by Zivia Zee

AKU percaya bahwa kakekku-yang katanya mantan Nazi-mewariskan segudang karma buruk untuk para anak, cucu serta cicitnya di masa depan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


AKU percaya bahwa kakekku-yang katanya mantan Nazi-mewariskan segudang karma buruk untuk para anak, cucu serta cicitnya di masa depan. Bukannya aku mau berprasangka sama Kakek tersayang yang umurnya sudah terlampau cukup untuk dimasuki ke daftar kunjungan Malaikat Maut, tapi terlahir sebagai keturunannya saja sudah seperti nasib sial.

Aku tidak sembarang bicara. Kenyataannya, hampir semua urusan keluarga von Dille tidak ada yang berjalan lancar. Hampir semua orang yang menyandang nama terkutuk itu mengalami nasib sial yang menetes dari dosa-dosa lama Kakek.

Sebut saja Papa yang kehilangan Mama, Bibi Nora yang sulit menikah, hingga Paman Ehlrich yang putra sulungnya berubah jadi psikopat yang doyan mengumpat selepas terlibat dalam kecelakaan tragis. Kakakku sendiri, Alden, untuk alasan tertentu yang terasa janggal terjebak dalam status pengangguran meski keluarganya cukup terpandang untuk menjadikan ia menteri negara.

Kendati demikian, aku tidak pernah membenci Kakek. Apalagi sebagai cucu termuda aku dikenal paling sayang dengannya. Masalahnya, di antara ke dua belas cucunya, Kakek kelihatannya paling membenciku.

Pernah suatu waktu aku mengajaknya main papan luncur yang berakhir mendatangkan tiga ambulans ke komplek pribadi rumah kami. Sejak saat itu, selama dua minggu Kakek selalu berlari terbirit-birit tiap kali batang hidungku muncul di depan wajahnya. Padahal, dia tidak pernah kabur-kaburan kalau didekati cucunya yang lain.

Kakek punya banyak hal yang dia benci. Mulai dari bunga Krisan yang dijadikan pajangan rumah oleh Liesl yang sangat cinta dengan malaikat maut, sampai telapak kakinya sendiri yang mulai pecah-pecah dikopek usia. Namun di antara sekian banyak hal yang pria perajuk itu tidak sukai, Kakek paling membenci Nenek.

Sejak umurku menginjak sembilan, dia selalu protes karena katanya sifat malas dan suka mengkhayalku mirip nenek. Padahal, semua orang bilang tabiat marahku paling mirip Kakek.

Katanya, "Entah dosa apa si Vinch itu sampai hampir semua anaknya malah mirip si Jalang Kampung itu. Terlebih kamu, Auriga! Kakek sampai tidak percaya kalau kamu sungguhan cucu Kakek."

Suatu waktu saat aku berulang tahun yang ke sepuluh, Kakek yang mulai kebakaran jenggot melihatku tidur-tiduran dan mengkhayal setiap hari menghadiahi aku satu set pisau lempar. Tiap akhir pekan dia tidak pernah absen mengetuk rumah kami dan menculikku ke arena olahraga pribadi keluarga untuk mengajariku melempar pisau pada orang-orangan jerami.

"Jadi perempuan bukan berarti harus lemah, malas dan cengeng," omelnya, saat tangan-tangan keriputnya mengajarkanku cara melempar yang baik dan benar agar bisa langsung mengenai jantung Tuan Jerami yang malang.

Saat itu, tentu saja aku langsung protes. "Aku tidak lemah, malas, apalagi cengeng!" Meski pada kenyataannya aku memang tumbuh jadi anak pemalas dan sedikit cengeng.

Kakek tidak pernah menghiraukan keluhan sakit hatiku. Bahkan ketika sudut-sudut mataku mulai digenangi air mata. Pria dingin itu akan tetap fokus menatap Tuan Jerami dengan mata pisau yang mengacung tajam. Sementara lidahnya tidak berhenti memberi wejangan dengan suara serak dan bergetar khas pria lanjut usia yang harusnya sudah tutup usia.

"Otakmu tidak boleh dibiarkan berkarat. Ototmu jangan sampai tertimbun lemak. Kamu lihat pisau lempar ini?" Lalu tangannya melontarkan pisau itu tepat ke dada kiri Tuan Jerami yang mengerang kesakitan. "Belajarlah sepertinya. Jadilah perempuan yang cukup kuat dan tajam untuk bisa membelah angin dan menggapai tujuanmu."

Dengan mata sembab, kutatap dada Tuan Jerami yang dibanjiri banyak darah. Jiwanya yang tertawan di sana mengerang-erang mengutuk Kakek agar cepat masuk liang lahat. "Maksud Kakek, jadi kolot dan kasar seperti Kakek agar semua orang membenci Kakek yang pada akhirnya kesepian di hari tua?"

"Anak dongok!" damprat Kakek sambil mengetuk kasar tongkat jalannya.

Kulempar pisau di tanganku ke lantai dan berseru marah padanya. "Kakek jahat! Lebih baik tinggal di dunia lain sama robot-robot jelek daripada tinggal sama Kakek!"

Aku langsung berlari tunggang-langgang ke rumah. Meninggalkannya yang berteriak-teriak seraya berusaha mengejar. "Anak bengal! Jangan kebanyakan mengkhayal! Berhenti meracuni otakmu dengan imajinasi butut yang tidak akan jadi kenyataan!"

Malam itu, Kakek dan Papa kembali bertengkar untuk yang ke seribu kalinya. Papa marah besar karena aku pulang dengan sandal yang hilang satu, rambut awut-awutan, dan menangis hebat sampai ingusku nyasar ke rambut. Kendati demikian, pertengkarannya dengan Papa malam itu tidak membuat Kakek segan datang mengetuk pintu kamarku dengan satu set senapan berburu dua bulan setelahnya.

Di lapangan tembak milik keluarga kami, Kakek dengan mata tajamnya mengacungkan moncong senapan ke kepalaku. Berkata, "Jangan kebanyakan mengkhayal, Auri. Nanti kamu dimakan imajinasimu sendiri."

Empat tahun setelahnya, karma buruk Kakek akhirnya sampai pada garis takdirku dengan cara yang sangat sial, mustahil dan tidak terduga.

Aku mengalami kejar-kejaran konyol dengan sebatalion robot polisi yang menuduhku mencuri onderdil, bersama tiga orang tidak beruntung lainnya, di dunia distopia yang dipenuhi cyborg dan beragam intrik kapitalisme.

Dunia yang hampir setiap hari aku ciptakan di dalam imajinasiku sebelum didamprat Kakek.

Dunia yang hampir setiap hari aku ciptakan di dalam imajinasiku sebelum didamprat Kakek

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
DreamcoreWhere stories live. Discover now