Chapter XXIII

250 38 2
                                    

Night At Museum

Hei Yanjing bergerak pelan dan waspada di daerah yang tak asing lagi yaitu kawasan gedung apartemennya. Jam demi jam berlalu sejak ia kembali menjejakkan kaki di Phoenix dengan cara brutal dan tak terduga. Dia berjalan kaki, mencoba bersikap biasa saja dan berbaur dengan orang-orang. Sesekali dia berhenti, bukan untuk bicara atau menyapa seseorang, melainkan mengawasi kendaraan maupun orang di sepanjang jalan. Tentu saja, semua wajah yang berada di sana tidak dikenalnya. Dia yakin para pemburu akan mencapai kota ini, sebagian dari mereka, sisanya entahlah. Diam-diam ia merasa khawatir bahwa Lao Wei menyebarkan anggota dan salah satu dari mereka kemungkinan akan menemukan Xiao Hua. Semoga itu tidak terjadi, pikirnya dengan wajah muram. Dia menajamkan naluri, mengawasi setiap pergerakan mencurigakan. Jika ada pemburu menunggu di dalam mobil atau di balik pohon, ia akan mengetahuinya.

Dia memasuki lobi apartemen, mengawasi sekitar, dan menunggu selama lima menit sebelum ia menuju unitnya. Seseorang berjalan mengikutinya dalam jarak aman, dan Hei Yanjing mulai meningkatkan kewaspadaan. Tak ada yang terjadi hingga ia masuk ke dalam apartemen, mengambil beberapa barang yang diperlukan, kemudian dia memeriksa unit Xiao Hua. Sepertinya tidak ada tanda-tanda bahwa ia dikuntit. Kalaupun ingin mengetahui apakah ada orang-orang mencurigakan menyatroni tempatnya ataupun Xiao Hua, ia harus memeriksa rekaman kamera pengawas. Hei Yanjing seharusnya merasa sedikit lega. Anehnya, ia tidak bisa. Dia menunggu dengan gelisah selama beberapa jam yang terasa seperti selamanya, menunggu malam tiba. Dia harus menyelinap ke museum untuk menemui seseorang yang bernama Jiasha.

*****

Gadis itu mengintip lewat jendela berteralis. Menatap pucuk-pucuk pohon yang tajam, begitu tinggi sehingga hampir menutupi langit dan bulan yang cerah, nyaris bulat sempurna, putih keperakan. Dia bisa mendengar gumaman samar dari depan pintu, lalu ketukan itu bergema lagi. Siapa pun orang di luar, ia harus membuka pintu dan menyuruhnya pergi.

Pintu kayu itu berderit saat puteri nelayan membukanya dengan ragu, hanya cukup untuk menyembulkan wajahnya. Aroma serupa asap tembakau atau semacamnya, dan aroma tanah lembab serta dedaunan yang membusuk menyerang dari arah luar. Tiga bayangan hitam berdiri menjulang sekitar dua langkah di depan pintu. Tidak ada cukup cahaya untuk mengenali wajah mereka, yang pasti, orang-orang itu adalah tamu tak diundang.

"Siapa kalian?" puteri nelayan bertanya dengan suaranya yang kecil dan terdengar sedikit ketakutan.

"Kami mencari seseorang," pria yang berdiri di tengah menjawab dengan suara berat.

"Siapa?"

"Vampir bernama Xiao Hua. Petunjuk arah membimbing kami ke rumah ini."

"Vampir?" Lelucon ini terdengar berlebihan di malam hari. Puteri nelayan mengerjapkan mata, tiba-tiba merasakan suatu urgensi. Apakah yang mereka maksud adalah tamu di rumahnya yang baru saja jatuh pingsan. Tapi dia hanyalah seorang pemuda biasa. Tidak ada yang istimewa dengan dia.

"Tidak ada siapa pun di dalam," puteri nelayan menambahkan, "apalagi seorang vampir. Tak ada peti mati di sini."

"Lucu sekali. Bolehkah kami memeriksa rumahmu?"

"Tidak!" Tiba-tiba merasa terancam, puteri nelayan menukas panik dan menutup pintu. Dia tidak bisa membiarkan orang asing masuk, terlebih saat ayahnya tidak berada di rumah.

Salah satu dari pemburu kemudian berbisik, "Jarum kompas sudah tidak mengarah ke sini. Ini aneh sekali ... "

Tak ada sahutan. Mereka tampak bingung untuk beberapa waktu.

"Pergilah!" puteri nelayan menegaskan sekali lagi, nyaris mendesis, dikuasai oleh dorongan tiba-tiba dan tak terduga untuk melindungi diri. Sosok-sosok hitam itu membuatnya takut.

𝐌𝐚𝐮𝐫𝐢𝐭𝐢𝐚𝐧 𝐌𝐨𝐨𝐧𝐫𝐢𝐬𝐞 (𝐇𝐞𝐢𝐡𝐮𝐚) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang