Chapter 2

4.3K 448 97
                                    

Taruhan. Kurang kekanakkan apa?

Bukan cuma taruhan biasa, tapi taruhan untuk cari pacar baru, semua cuma demi giliran membersihkan rumah. Yah, dan membayar internet dan merestok isi kulkas sih, tapi tetap saja. Hafisa yang mengusulkan taruhan itu juga seharusnya tahu bahwa perasaan bukan untuk taruhan-tapi melihat saudara-saudaranya sudah semangat duluan, rasanya Riana tidak bisa menolak begitu saja.

Jadi waktu Athena, Hafisa dan Gitta berangkat tidur, Riana beranjak mengambil kunci mobil Gitta, lengkap dengan gitarnya. Tepat jam setengah sebelas malam, Riana menyetir mobil keluar dari garasi rumah. Di kepalanya penuh dengan taruhan (dan kasus pembegalan yang akhir-akhir ini marak-tapi itu tidak penting), dan tanpa sadar dia berhenti di depan gedung sekolahnya sendiri.

Suasana sekolah yang remang-remang dan sangat berbeda dengan siang hari membuat bulu kuduk Riana meremang, tapi dia tetap membawa gitarnya keluar mobil dan berjalan ke kelasnya, dengan penerangan tambahan dari ponselnya. Kenapa dia ke sekolah? Tidak tahu. Mungkin alam bawah sadarnya memberitahunya kalau tempat yang bisa membantunya berpikir normal adalah gedung yang dinding-dindingnya kotor penuh bekas tapak sepatu murid dari tahun ke tahun ini?

Tapi namanya manusia biasa, Riana tidak lepas dari rasa takut yang irasional terhadap gelap. Koridor lantai dua tempat kelasnya berada bahkan lebih gelap dari koridor satu-disini tidak ada satu lampu pun yang menyala. Gadis berbadan kurus itu menelan ludah sebelum melangkah maju, leher gitar di tangan, lengkungan badannya di bahu. "Permisi... Assalamualaikum, numpang nongkrong bentar ya... Gak ganggu kok..." gumam Riana, berusaha meredakan debaran jantungnya yang mulai menggila.

Riana menemukan kelasnya dikunci, jadi gadis itu duduk bersila dengan punggung bersandar di pintu kelas sambil memangku gitar, memetik sinarnya pelan. Taruhan... gumamnya dalam hati, Hafisa tuh abis nonton sinetron apaan sih, sampe bisa ngusulin ide kayak gitu?

Tapi kalaupun Riana sudah tidak bisa mundur, dia sudah punya orang yang dia jadikan target. Davio dari kelas sebelah. Dingin, tidak banyak bicara, susah didekati, dan kalau istirahat suka bersembunyi di perpustakaan. Tipikal Rangga dari film Ada Apa Dengan Cinta, tapi lebih galak dan susah digapai. Tiga saudaranya tidak ada yang tahu soal perasaan kecilnya ini, Riana tidak harus bilang alasan sebenarnya kenapa dia bisa menyukai Davio-karena dia sendiri tidak mengerti. Mungkin karena-

"LO SEMUA AMPAS!" Suara keras itu membuat seakan jantung Riana berhenti sesaat. Ribuan ide-ide seram langung muncul ke kepalanya, termasuk soal adegan waktu ada setan masuk merasuki tubuh wanita di film The Conjuring. Apa disini, sekarang, detik ini ada yang kesurupan juga di sekolah ini? Malam-malam begini?

Suara teriakan kesakitan itu berlangsung diikuti suara pukulan-pukulan, membuat Riana perlahan meletakkan gitarnya di lantai dan berdiri ragu. Suaranya terdengar tepat dari bawah, jadi anak perempuan itu berkalan ke arah balkon dan mengintip ke bawah. Yang dilihat adalah dua anak laki-laki (seumuran dengannya?) yang sedang baku-hantam, dikerubungi empat atau lima anak laki-laki lain yang diam menonton.

Riana, yang bersembunyi di balik dinding balkon dengan cuma bagian mata keatas yang terlihat tahu lebih baik daripada menghentikan perkelahian sengit antara dua laki-laki yang berpenampilan seperti anak-anak yang langganan tawuran, jadi Riana diam saja mengamati dari atas, pukulan demi pukulan, sampai akhirnya salah satu jatuh terbaring di lapangan basket dengan wajah penuh luka.

"Lo pikir lo bisa selamat dateng kesini sendirian?" tanya salah satu yang berdiri melingkari anak yang jatuh.

Sinetron banget, batin Riana dalam hati. Kenapa gak ada satpam yang bantuin?

Anak yang berbaring di tanah ditendang sekali lagi dan ditinggalkan meringkuk sendirian. Riana menunggu sampai anak-anak yang lainnya pergi sebelum mengambil gitarnya dan berjalan turun ke arah lapangan, menghampiri anak yang terbaring telentang di sana. Riana membungkuk, menyadari bahwa anak itu terlihat familiar. "Hei, lo bisa bangun?"

The Quirky Records of Friday NightWhere stories live. Discover now