Chapter 2 - Menjadi Ibu Adalah Sebuah Perjalanan Besar

71 12 9
                                    

“Sejak kapan kamu merokok?” tanya pria dengan jaket safety berwarna orange menyala.

Gala mengedikkan bahu. “Sejak aku tahu rokok itu enak.”

“Dulu katanya mau hidup sehat demi anak dan istri, sekarang malah asap rokokmu sudah kayak kereta api,” sindir pria itu sambil melepas helm proyek sambil mengipasi dirinya dengan map di atas meja.

Kontainer berukuran empat puluh feet yang digunakan sebagai mess atau kantor sementara di proyek pembangunan rumah sakit di daerah Purwokerto itu tidak pernah terasa dingin. Tidak ada pendingin ruangan, hanya standing fan berjumlah dua yang dipaksa terus berputar selama dua puluh empat jam, karena sebagian pegawai ada yang tidur di sana.

“Papaku yang enggak merokok aja meninggal duluan, padahal dia juga hidup sehat.”

Pria itu melempar map di tangannya. “Beda urusan. Hidup dan mati itu urusan Tuhan!”

“Nah, ya sudah. Aku hidup sehat atau enggak itu juga urusanku.”

“Repot ngomong sama kamu, Gal. Enggak aka nada habisnya, dibantah terus.”

Gala tertawa lalu kembali mengisap rokoknya dalam.

Kesehariannya ketika di proyek sebagai safety engineer yang jauh dari keluarga membuatnya merasa bebas melakukan apa saja termasuk menikmati tembakau dan bermain game ponsel tanpa ada yang meneriakinya atau menyuruh berhenti. Sebatas itu. Dia tidak berani meluaskan arti ‘kebebasan’. Karena Gala masih merasa dia termasuk dalam golongan umat beragama yang mempercayai Tuhan dan dosa.

“Pak, aku besok ambil cuti, ya,” ucap Gala setelah mematikan rokoknya.

“Tumben. Sudah kangen sama istrimu?”

“Ya, iyalah, Pak. Masa kangen istri tetangga. Bisa habis dipukuli aku.”

“Tapi lusa balik, ya. Ada boiler datang.”

“Siap, Pak.”

“Jangan lupa, tulis tanggal permohonan cutinya minggu lalu. Kamu itu harusnya sesuai aturan, mengajukan cuti sekurang-kurangnya tujuh hari sebelum cuti.”

“Pak justru aturan ada, kan, untuk dilanggar.”

Pria berusia lima puluh tahunan itu menggertakkan gigi. “Terserah kamu, lah, Gal!”

Gala hanya tertawa.

Sebenarnya, dia pulang ke Tangerang untuk mengurus dokumen cerai. Mita, istrinya, menyampaikan itu melalui telepon sejak tiga minggu lalu. Namun, karena Gala menganggap Mita hanya menggertak dirinya yang jarang pulang, dia diam saja dan tidak merespon ucapan sang istri. Kemarin, Mita menelepon lagi, dia membutuhkan KTP Gala untuk melengkapi dokumen mengurus surat cerai, sebelum didaftarkan ke Pengadilan Agama. Ternyata Mita serius meminta berpisah. Gala benar-benar harus bertemu dengan sang istri secepatnya.

Masalahnya, sejak itu Gala tidak pernah fokus bekerja atau melakukan sesuatu. Yang dia lakukan hanya melamun sambil merokok, menyendiri, dan berpikir bagaimana cara mengatasi masalah rumah tangganya agar tidak hancur setelah tiga tahun menikah.

Gala dan Mita memang menikah di usia yang terbilang muda. Mita yang baru wisuda sarjana  dan berusia dua puluh dua tahun saat itu mengiyakan saja ajakan Gala untuk menikah. Usia Gala yang juga masih dua puluh tiga tahun dan baru bekerja, entah mengapa sangat yakin untuk menikahi Mita yang telah menjadi pacarnya sejak dia semester empat dan Mita semester dua.

Keduanya hanya yakin bahwa menikah muda bukanlah masalah besar dan justru akan membawa kebahagiaan. Sayangnya, mereka harus tinggal jauh dari orang tua. Setelah menikah, Gala membawa Mita ke Tangerang karena dia masih mengantor di sana sebelum dipindah-pindah tugas ke proyek yang berbeda seperti sekarang. Sebulan setelah menikah, Mita hamil Bizurai. Bagi Gala, semua terasa cepat dan terburu-buru.

Gala bukan menyesal karena menikah terlalu cepat, tapi dia menyesal karena belum memiliki banyak pencapaian sehingga harus menjalani hidup terpisah dengan Mita dan Bizurai. Gala ingat betul ketika reuni akbar yang diadakan oleh almamaternya dua tahun lalu. Mita yang dulu ceria menjadi pemurung. Saat teman-temannya yang lain sibuk menceritakan pekerjaan dan kantor mereka, Mita malah harus menenangkan Bizurai yang baru berusia lima bulan menangis karena situasi tempat reuni yang terlalu berisik dan akhirnya Mita memilih menunggu di mobil. Gala merasa sangat bersalah pada istrinya. Perempuan yang harusnya bisa bersinar itu malah merasa rendah diri dan karena itulah Gala mengizinkan Mita memulai karir dengan bekerja di perusahaan farmasi.

***

Siang ini, Mita harus ke Rumah Sakit X untuk menemui Dokter Anis. Indra menitipkan ongkos taksi padanya untuk diberikan pada Dokter Anis secara langsung. Kata Indra dulu, dia menghindari pemberian ongkos taksi melalui transfer, untuk menghindari masalah. Katanya lagi, uang cash adalah yang paling aman sejauh ini. Waktu itu Mita tidak paham, tapi setelah setahun bekerja, dia jadi tahu maksudnya.

Tiba-tiba ponselnya berdering, ada telepon masuk. Layar ponsel menampilkan nama kontak ‘Mama Arumi’. Mita menggeser tombol hijau setelah bergeming beberapa detik.

“Halo, Ma?”

Halo, Mita? Pripun kabarmu, Nduk?” sapa Arumi di seberang telepon. Dia adalah ibu mertua Mita.

“Baik, Ma. Mama apa kabar?” balas Mita sambil menggaruk hidung. Dia selalu gugup ketika menerima telepon dari Arumi.

Mama baik kok. Kamu lagi di rumah?

“Aku … lagi kerja, Ma.”

Oh … Mama kira kamu di rumah. Nanti kalau pulang, video call, ya, Mit. Mama kangen Rai.

Mita terdiam lagi. “Em … Ma, Rai lagi di rumah ibu.”

Jadi Rai di Bawean sekarang?” Arumi terdengar seperti sedikit terkejut.

“Iya, Ma. Tempo hari, ibu sama om ke Jakarta. Pulangnya sekalian ajak Rai mumpung ibu lagi libur sekolah.”

Oh, gitu … kapan kamu mau jemput Rai?

“Belum tahu, sih, Ma.”

Kamu sama Gala baik-baik saja, toh?

Mita menelan ludah, bingung harus menjawab apa. “Setahu Mita, Gala baik, sih, Ma.”

Bukan, bukan kabar Gala. Tapi kalian.”

“B-baik, kok.” Mita berbohong.

Syukurlah,” ucap Arumi. Dia terdengar menarik napas sebelum melanjutkan bicara. “Mit, Mama tahu mungkin semuanya terasa sulit buat kamu. Jadi ibu dan istri itu seperti melakukan perjalanan besar. Tidak ada ujungnya, kecuali kita sudah berhenti bernapas. Jangan berharap akhir, karena selamanya kamu akan belajar. Tapi tenang, Nduk, itu semua akan membawa kebahagiaan.”

Mita menundukkan kepala, seolah Arumi sedang melihat ke arahnya kini. Tidak, dia tidak menyalahkan kalimat itu, tapi Mita justru merasa Arumi telah memberi gambaran besar untuknya. Bahkan, ibunya sendiri saja tidak pernah berkata seperti itu.

Mit, menjadi ibu rumah tangga itu enggak masalah lho. Kamu bisa merawat dan melihat tumbuh kembang Rai sendiri, juga mendukung Gala di pekerjaannya yang sekarang dan kalian enggak perlu hidup berjauhan,” sambung Arumi. “Atau kamu buat saja rencana hamil anak kedua saja, biar tidak kesepian di rumah. Kira-kira kapan Rai punya adik?”

Mita menjauhkan ponsel dari telinga, lalu menghela napas kasar. Baru saja dia memuji kebijaksanaan Arumi, eh, sekarang malah menuntut cucu kedua. Mengurus Rai sendirian saja sudah begitu melelahkan, bagaimana mengurus dua balita di rumah?

Mita hanya mengiyakan ucapan ibu mertuanya lalu menutup telepon.

***

REST AREA (Telah Terbit ✅)Where stories live. Discover now