Chapter 4 - Pertengkaran Tanpa Ujung

47 5 8
                                    

"Aku ikut ke rumah ibu," ucap Gala seraya melenggang pergi dari kamar dan kembali ke sofa di depan televisi.

"Enggak perlu," balas Mita setengah teriak sambil mengeluarkan beberapa baju dari lemari.

"Kamu mau ke sana sama siapa, sih?" Gala berbicara dengan intonasi penuh kecurigaan.

Mita yang mendengarnya, sontak melempar baju yang ke tempat tidur yang harusnya dimasukkan ke koper. "Apanya yang sama siapa?!" teriaknya kesal. Kini, Mita sudah berdiri di ambang pintu kamar.

"Ya, kamu itu kenapa terus menolak kalau aku ikut ke rumah ibu! Kamu mau ke sana sama atasanmu?"

"Itu lagi yang dibahas! Mending kamu mikirin sesuatu yang berguna dikit!" Mita meradang.

"Wajar kalau aku curiga sama kamu. Aku kerja jauh dan sekalinya pulang ke rumah, kamu malah pulang malam. Ya, mau enggak mau pikiranku ke sana, lah!" Keduanya berdiri berhadapan, dan hanya dipisahkan oleh sofa.

"Kenapa kamu kalau ngomong enggak di-filter dulu, sih?" Suara Mita parau, kekesalannya sudah mencapai puncak kepala.

"Apanya yang mau di-filter kalau kenyataannya begitu? Kamu sering jalan sama atasanmu!" terang Gala dengan suara tinggi. "Pantesan karirmu melejit cepat." Nadanya berubah drastis menjadi bisikan, tapi justru terdengar dingin dan menusuk.

Mita kehilangan kata-kata, dia menggigit bibir, berusaha agar tidak menangis. Ya, dia tidak boleh menangis di depan Gala. Sejak kecil, ibu dan ayahnya selalu memarahi Mita jika tidak bersikap baik di depan umum termasuk menangis. Bagi mereka, menangis bukanlah sikap yang pantas ditunjukkan ke banyak orang. Karena itu, Mita selalu menangis diam-diam.

Perempuan itu berbalik menuju kamar, lalu menutup pintunya dengan kencang dan menguncinya dari dalam. Untunglah Bizurai tidak di rumah. Mendengarkan pertengkaran orang tuanya, adalah sesuatu yang harus dihindari oleh anak walaupun dia belum bisa membaca situasi. Menurut buku yang pernah Mita baca, penggunaan nada tinggi seperti menyentak, memarahi secara langsung ataupun tidak, bisa merusak sel-sel otak anak yang baru memasuki tahap tumbuh-kembang.

Dada Mita terasa sesak karena menahan tangis. Dia duduk bersimpuh di lantai membelakangi pintu masih sambil menggigit bibirnya. Biasanya, dia bisa menahan kesal atau marah dengan sangat baik. Entah mengapa, sejak dia mengungkapkan keinginan untuk bercerai, Mita tidak bisa lagi menahannya di depan Gala. Padahal Mita tahu betul karakter Gala yang selalu membicarakan semua isi kepala dan hatinya tanpa memikirkan dampaknya lebih dulu. Harusnya, Mita lebih bisa menoleransi.

Gala yang masih berdiri di depan sofa, hanya memandangi pintu kamar. Kedua tangannya terkepal erat. Dia menahan diri untuk tidak memukul sesuatu ketika marah, termasuk benda di sekelilingnya. Kata Arumi–sang mama–, pria hanya boleh memukul ketika dalam situasi mendesak yaitu saat nyawa seseorang terancam, atau saat orang lain menginjak harga diri keluarganya. Yang terjadi malam ini, bukan termasuk keduanya. Prinsip Gala, pria tidak memukul wanita dan tidak memukul sesuatu saat marah. Itu saja.

Pria dua puluh enam tahun itu memilih keluar dari apartemen untuk menenangkan diri. Dia tanpa tujuan malam ini dan memilih duduk di bangku halaman depan apartemen yang hanya diterangi beberapa lampu taman. Gala menyulut sebatang rokok lalu mengisapnya dalam-dalam, berharap sensasi menenangkan dari tembakau bisa menjalar hingga kepalanya. Dia kembali berpikir, apa mengajak Mita menikah cepat adalah sebuah kesalahan? Sayangnya, mau dipikirkan berapa kali, jawabannya tidak kunjung dia dapatkan.

Jam menunjukkan pukul satu dini hari. Mita yang sempat tertidur sebentar masih dengan posisi yang sama di belakang pintu sambil menekuk lutut, terbangun dan melanjutkan sesi berkemasnya. Dia juga perlu membawa kebutuhan Bizurai. Lemari yang berisi perlengkapan buah hatinya terletak di kamar sebelah, mau tidak mau Mita harus keluar kamar. Perempuan itu menelan ludah sebelum menarik kenop pintu. Sepi. Pandangannya menyapu seluruh area apartemen yang minimalis dan tidak ada sosok Gala di sana.

"Dia sendiri juga keluar tengah malam," gumam Mita sambil menuju kamar sebelah. Dia bergegas mengambil beberapa selimut dan baju hangat Bizurai dan memasukkannya ke koper. Kemudian mengemas peralatan mandi, serta beberapa makanan dan minuman yang dijadikan satu di totebag untuk bekal di perjalanan. Menyetir sendiri sejauh delapan ratus kilometer lebih bukanlah perkara mudah.

Hingga pukul setengah tujuh pagi, Gala belum juga kembali ke apartemen. Mita sudah selesai sarapan setelah tadi tidur untuk kedua kali selama dua jam, lumayan dari pada tidak memejamkan mata sama sekali. Dia mengambil sebutir vitamin dari botol dan menelannya sebelum mencuci piring lalu siap berangkat. Indra belum membalas pesan permintaan cuti mendadak yang dikirimnya sejak tadi Subuh. Harusnya di-ACC, mengingat Mita tidak pernah mengajukan cuti selama bekerja lebih dari satu tahun ini.

Tiba-tiba ada suara pintu dibuka saat Mita membilas piring. Gala masuk dengan wajah yang sulit didefiniskan. Kacau. Bahkan, lebih kacau dari kemarin. Dia seperti seseorang yang tidak mandi dan menyisir rambutnya selama tiga hari.

"Tunggu sebentar," ucap Gala dengan suara berat sambil melangkah menuju kamar mandi.

Mita menoleh, memandang pria itu penuh selidik. "Dia hangover?" batinnya. Namun, sepertinya tidak. Pria itu terlihat sadar walau matanya terlihat agak kemerahan.

Sebelum benar-benar masuk ke kama mandi, Gala menghentikan langkah. "Tunggu aku. Aku juga pengin ketemu Rai," katanya lagi dengan nada datar tanpa penekanan atau ancaman. "Mobil ayah itu sudah lama enggak dipakai. Takutnya, nanti mogok di tengah tol, dan kamu enggak tahu harus ngapain. Lebih baik kalau aku ikut, kan?" lanjut Gala.

Mita terdiam. Ucapan Gala sangat masuk akal. Sebenarnya, Mita memang khawatir dengan kondisi mobil itu. Sejak membeli mobil baru setengah tahun lalu, mobil yang dibawa Mita dari Bawean sudah hampir tidak pernah dipakai kecuali saat Gala pulang dan sengaja digunakan untuk memanasi mesinnya.

Akan tetapi, ketika Mita dan Gala dalam situasi rumah tangga yang buruk dari tiga bulan lalu, mobil itu belum pernah dibawa ke bengkel sekali pun. Gala hanya pulang sekali dalam satu bulan, dan waktu Mita habis di tempat kerja serta mengurus Bizurai. Mobil keluaran tahun 2005 itu menjadi terlupakan.

"Oke," jawab Mita akhirnya. Dia menyetujui ucapan Gala.

Gala masuk ke kamar mandi setelah mengangguk dan tersenyum tipis. Lima menit kemudian dia keluar dengan wajah lebih segar. Rambutnya yang masih basah dibiarkan begitu saja tanpa disisir. Mita menatap suaminya dari pantry. Sebentar lagi, pemandangan di depannya tidak akan ada di apartemen kecil ini.

"Kenapa?" tanya Gala ketika dia juga tidak sengaja menoleh ke arah Mita yang tengah memandangnya.

"E-eh, kamu enggak sekalian ganti baju?" Mita menggaruk hidung, pertanda kalau dia gugup.

"Ini aja."

"Ganti baju dulu, deh. Itu bukannya baju kemarin?"

Gala mendekatkan hidungnya ke lipatan bahu lalu mengangkat sedikit kausnya untuk mencium aroma baju. Perutnya yang rata sedikit terlihat dan Mita buru-buru memalingkan wajah. "Bajuku di mana?" tanya Gala kemudian.

"Ya masih di lemari biasanya." Mita pura-pura sibuk menata isi totebag.

Gala masuk ke kamar yang sudah lebih dari tiga minggu tidak dia tengok lalu bergegas menuju lemari dan mengambil baju apa saja dengan sekali tarikan. Karena menariknya terlalu kasar, beberapa baju berjatuhan.

Mita yang sengaja mengintip dari luar kamar jadi histeris. "Gala! Kan, sudah dibilang kalau ambil baju dari lemari itu diangkat dulu atasnya baru ditarik, bukan asal tarik aja! Berantakan jadinya!"

"Kan, buru-buru," bela Gala.

"Buru-buru juga ada caranya!" Mita mengambil baju-baju yang jatuh di lantai. "Kamu, tuh, enggak bisa rapi sedikit, kek!"

"Sudah, biarin di tempat tidur aja. Besok pulang dari Bawean bisa ditata ulang."

"Enggak ada yang perlu ditata lagi, langsung aku masukin koper," gerutu Mita pelan, sedangkan Gala lebih memilih pura-pura tuli dari pada memancing pertengkaran kembali.

Belum berangkat sudah ada saja yang diprotes Mita. Bagaimana mereka bisa menghabiskan waktu hanya berdua, lebih dari delapan belas jam di perjalanan nanti? Gala tidak mau membayangkannya.

***

REST AREA (Telah Terbit ✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang