(pagi hari di kamar mandi 2)

23 2 0
                                    

Papa langsung menarik kantong-kantong belanjaan Mama sampai semuanya terjatuh ke lantai, lalu dia menarik tangan Mama. "Ayo cari makan."

Mama berusaha melepaskan genggaman tangan Papa, "Mama baru makan. Mama harus ke atas. Banyak yang harus diurus. Ka mar kita masih kosong. Anak kita perlu tempat tidur." Papa melirikku dengan mata melotot. Lalu, dia bilang "Dia

tidur di kamar mandi saja. Kan kemarin juga bisa."

"Mana mungkin anak kita dibiarkan tidur di kamar mandi!"

pekik Mama.

"Sudahlah! Jangan cerewet!" kata Papa. Lalu dia menyeret Mama. Mama tampaknya berusaha bertahan sekuat tenaga, tapi dia tetap terseret. Lucu, sebenarnya, melihat mereka tarik-tarikan seperti itu. Soalnya, yang main tarik-tarikan seperti itu cuma anak kecil. Mama dan Papa kan sudah besar. Tapi karena Mama mulai menangis dan Papa mulai membentak-bentak, jadinya tidak lucu.

Banyak orang yang memperhatikan keributan yang dibuat Mama dan Papa. Ada juga yang berusaha melerai keduanya ('me- lerai' artinya 'memisahkan dua orang yang sedang bertengkar'. dan ini kata yang tepat karena Mama dan Papa adalah dua orang- meskipun Papa bisa dianggap setan jahanam, jadi bukan orang- dan mereka sedang bertengkar), tapi Papa juga membentak orang itu dan mulai berusaha meninju semua orang yang mendekat.

Lama, tapi akhirnya Mama dan Papa masuk ke dalam bajaj yang lewat dan pergi entah ke mana diikuti kepulan asap hitam.
                                 
                               ***

Aku tidak tahu harus pergi ke mana setelah Mama dan Papa pergi. Kurasa, aku seharusnya masuk ke dalam. Barang belanjaan Mama ada di tanah. Semuanya berserakan. Orang-orang membantuk mengumpulkan semua yang kami beli. Mereka memberikannya kepadaku. Semuanya tampak bingung karena aku tidak punya cukup tangan untuk membawa semuanya.

Pak Satpam membantuku membawa semua barang belanjaan aku dan Mama. Untungnya, aku bawa kunci rumah yang kemarin kudapat dari Ibu Penjaga Rusun (Bu Ratna). Kuberikan kunci itu kepada Pak Satpam. Soalnya, aku agak susah mencapai lubang kunci. Aku agak pendek, jadi harus berjinjit.

Tepat ketika kami tiba di lantai tiga, aku melihat Si Anak Pengamen yang kemarin. Dia sedang berjalan melewati kamarku. "Hei," katanya. Aku bisa lihat kalau di punggungnya ada gitar lagi. Gitar kecil berwarna cokelat. Warnanya mirip karamel. Aku juga bisa melihat kapas yang ditempel di dekat matanya. Ditempel dengan sesuatu yang mirip perekat luka.

Aku menunjuk perekat lukanya. "Itu kenapa?" tanyaku.

Dia membalas dengan menunjuk barang-barang belanjaan di tanganku. "Kamu beli apa?"

"Mama beli banyak barang di pasar. Kamu pernah ke pasar?"
"Pernah, dong." Dia beralih ke Pak Satpam. "Sini, aku bantu."

Kami berjalan sedikit sampai ke kamarku. Pak Satpam mem- bukakan pintu dan meletakkan semua barang belanjaan di dalam. Dia bilang sesuatu soal kulkas, tapi aku tidak terlalu paham. Dia tersenyum saja. Lalu, dia pergi.

Si Anak Pengamen berdiri saja di depan pintu selama kami bicara di dalam kamar. Aku ingat kalau kemarin Papa memarahi kami berdua karena dia masuk ke dalam kamar. Yah, sebenarnya, Papa memarahiku. Tapi dia juga ikut mendengar teriakan Papa. Kurasa, dia tidak mau kalau aku harus kena marah lagi karena dia.
Aku juga tidak mau.
Jadi, aku keluar dari kamar. Aku bilang. "Hari ini,kamu mau kemana?"

"Ke tempat Kak Suri," katanya. Dia menunjuk ke langit-langat "Kamarnya Kak Suri di lantai 4. "Oh."Aku diam saja

Dia memperhatikanku. Lalu, katanya, "Kamu mau ikut? Aku buru-buru mengangguk. Aku tidak tahu siapa Kak Suri Dan kata Mama, jangan suka ikut-ikut orang sembarangan. Tapi aku tidak tahu harus ke mana lagi, Lagi pula. Mama dan Papa juga sering membawaku menemui orang yang tidak kukenal.

Pak Satpam berpamitan dengan kami, lalu aku dan Si Anak Pengamen berjalan berdampingan ke lantai atas. Sambil berja lan, aku teringat kalau di sakuku ada ponsel baru yang dibelikan Mama.

"Kamu punya ponsel?" tanyaku kepada Si Anak Pengamen. Dia menoleh. "Ponsel itu apaan, sih?" "Telepon seluler," kataku. "Artinya alat komunikasi nirkabel yang bisa dibawa-bawa dengan mudah. Nirkabel artinya tanpa kabel."

"Aku nggak tahu," katanya, sambil merogoh sakunya sendiri. "Tapi kalau HP sih punya."

"Oh," kataku. "HP itu ponsel. Mama baru membelikanku satu. Mungkin lebih baik aku minta nomor kamu."

"Oke." Dia mengambil ponselku dan memasukkan nomornya sendiri ke sana. Lalu, dia mengembalikannya padaku sambil bi- lang. "Itu HP yang bagus. Mahal, pasti."

Aku mengangkat bahu. "Tidak tahu. Mama tidak beri tahu." "Kapan Mama kamu belinya?"

"Waktu Papa main judi," kataku. "Kata Mama, waktu Papa main judi, dia tidak ingat kanan-kiri."

Aku melihat wajah Si Anak Pengamen, bertanya-tanya apakah dia akan bilang tuh, kan' seperti teman-temanku, kalau mereka berkata benar dan aku berkata salah. Tapi dia tidak bilang apa- apa. Dia menunggu agak lama, sebelum bilang. "Kadang-kadang aku nggak tahu yang mana kiri, yang mana kanan."

Aku mengangguk, karena kadang-kadang aku juga tidak tahu. Aku bertanya lagi. "Nama kamu siapa?"

"P." dia berkata.

"Hah?"

Sekarang, kami sudah berhenti di depan salah satu pintu. Pintu nomor 503. Si Anak Pengamen mengangkat tangannya untuk me- ngetuk, tapi berhenti sebelum melakukannya. Dia memandangiku.

"Namaku P."

"P apa?" tanyaku bingung.

"P.P itu seperti huruf P. Kamu tahu kan? A, B, C, D..."

Aku mengangguk, soalnya aku memang sudah tahu. Ada 26 huruf dalam alfabet Latin, yaitu:

1.A

2.b

3.c

4.d

5.e

6.f

7.g

8.h

9.i

10.j

11.k

12.L

13.m

14.n

15.o

16.p

17.Q

18.r

19.s

20.t

21.u

22.v

23.w

24.x

25.y

26.z

Karena aku tahu kalau P ada di dalam alfabet Latin, aku tanya lagi kepada Si Anak Pengamen, "lya. Tapi Papa?" "P saja."

Aku semakin heran. "Tapi itu sih bukan nama." Dia terdiam sebentar. Lalu, dia bilang, "Itu nama, kok. Itu namaku."

Lalu dia mengetuk pintu 503, dan tidak mengatakan apa-apa lagi soal namanya.

di tanah ladaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang