10. B'day Girl

208 51 2
                                    

Berbicara tentang siang hari, yang akan terbayang adalah awan putih terbentang di langit biru, suara burung gereja, kerumunan orang yang berjemur di tepi pantai, atau angin sepoi-sepoi berembus santai di bawah pohon rindang. Namun, berbeda dengan siang itu, mendung menggantung di langit kota hingga rasanya badai yang akan datang mampu merobohkan tiang. Langit berwajah muram dan bumi ikut merajuk, tetapi makhluk yang berada di antara keduanya masih melakukan kegiatan seperti biasa, setidaknya sebelum hujan datang.

"Ini pesanannya, Mbak." Kristal menghampiri meja pelanggan dengan nampan berada di tangan, kerja sampingan lainnya setelah berada di bengkel setiap malam, lumayan juga cuan yang dihasilkan dari kafe milik Alkana.

"Terima kasih." Wanita itu berujar dan Kristal tersenyum ramah.

Kemudian, bunyi lonceng dari pintu masuk membawa atensi gadis itu untuk segera mengantar buku menu, tetapi melihat dua orang yang ada di sana membuatnya hampir kembali mundur. Alkana dan Jeano datang untuk bersantai di tempat itu.

"Kenapa? Takut, yeu, dipecat sama bos?" Daniel bertanya sambil tersenyum mengejek lantaran pertemuan pertama Kristal dan bos mereka tergolong tidak menyenangkan.

"Ih, apaan, sih?!" Kristal merengut dan membuat cowok itu tertawa keras. "Udah baikan, tau!" sombongnya dan berjalan dengan dagu yang terangkat menuju meja dua lelaki tadi.

Iya, sudah baikan, sudah dihukum pula, tetapi ini masalahnya pasal kemarin yang membuat Kristal kembali merasa tak enak hati. Padahal, jika dilihat-lihat kejadian itu juga bukan salahnya, toh, kata pepatah its okay to be not okay. Salah Alkana sendiri-lah yang mengajaknya di saat dia sedang dalam kalimat not okay.

"Loh, Kristal," sapa Jeano ketika gadis itu menghampiri meja mereka. "Akhir pekan yang sangat produktif, ya?"

"Lumayan, Pak," jawab Kristal malu-malu sambil meletakkan buku menu di atas meja.

"Kalo di luar nggak usah 'pak', saya nggak mau keliatan tua." Jeano kembali bersuara dan Alkana menatapnya dengan alis yang naik sebelah, seolah mempertanyakan 'apa-apaan?'.

Kristal ikut melebarkan mata dan menggaruk tengkuk dengan canggung. "Jadi ...."

"Bang Jean." Selepas mengatakan itu, Jeano tertawa keras sekali sampai rasanya Alkana ingin pulang karena malu dengan pengunjung lain. Memang susah jika suasana hati kelewat bahagia. Jeano malah kelihatan seperti orang kurang waras sekarang.

"Ng-nggak bisa."

"Bercanda, Kristal. Kamu serius amat kaya sidang skripsi." Lalu buku menu yang berada di tangan Alkana dia tarik sedikit agar bisa membaca daftar minuman yang ada. "Ngerjain sesuatu harus serius. Tapi, kalo menjalani hidup nggak usah serius-serius amat," katanya sambil melirik gadis itu sekali.

Si gadis tersenyum. "Benar juga, Pak."

"Mema-"

"Jus jeruk satu, sama nasi goreng seafood satu," kata Alkana, memotong ucapan Jeano yang menurutnya semakin tidak jelas jika dibiarkan selesai.

"Oke, samain aja," sahut Jeano.

Alkana langsung menatapnya dengan alis yang mengerut. "Ngapain ikut-ikut?!"

"Maaf, ya, Kristal. Temen saya lagi pra-menstruation syndrome."

Kristal tertawa pelan dan mencatat pesanan di buku kecil, tak habis pikir pada dua dosen di depannya, terlebih wajah Alkana menjadi merah padam saat Jeano selesai mengatakan itu, dan bola mata Narendra Muda memelotot keras seolah akan loncat ke luar.

"Ya, sudah, saya permisi dulu. Mohon ditunggu pesanannya, ya, Pak." Gadis itu berkata lagi dan Jeano mengangguk sambil tersenyum, tetapi Alkana masih menunduk menatap layar ponsel tanpa sekalipun membawa atensinya pada Kristal sejak pertama kali dia masuk ke kafe itu.

A Cup Of Hot ChocolateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang