21. Don't Cry

182 41 2
                                    

Jeano seharusnya tidak terkejut saat menerima panggilan telepon tengah malam ketika dia sedang bergelung nyaman di belahan dada sang istri. Sudah pasti berita yang didapat adalah jalan sedang tidak mau berbaik hati sehingga membuat teman bodohnya terjungkal di aspal.

"Baik, Pak, saya ke sana sekarang. Terima kasih banyak," ucapnya sebelum panggilan dimatikan.

Jalanan yang sunyi dari hiruk pikuk kehidupan membuat laju mobil sedikit cepat. Jeano rela mengusir rasa kantuk dan meminta izin pada sang istri untuk menuju ke rumah sakit pada pukul tiga pagi. Demi Tuhan, baru dua jam mereka berpisah dan Alkana sudah main tidur di bangsal darurat saja.

"Lo jenguk gue, ya?" Kalimat pertama yang diucapkan Alkana saat wajah Jeano muncul di hadapan. Lelaki itu masih sanggup bercanda saat sebelumnya darah di kepala mengalir lebih deras dari air mata Bunda semalam.

"Enggak. Mau hapus kontak di panggilan darurat ponsel lo, ganggu gue tidur aja itu telpon," jawabnya seraya menarik selimut yang menutup tubuh Alkana untuk melihat luka.

"Jahat," balas lelaki itu dengan bibir maju beberapa senti, dihadiahkan pukulan ringan dari Jean, tetapi jeritan tertahan yang dihasilkan membuat lelaki bermata sipit itu panik seketika.

"Kaki gue patah."

"Tuhan, apalagi?"

"Itu doang."

"Kepala lo kenapa? Makanya pake helm kalau berkendara."

Alkana menggeser tubuhnya secara perlahan, memposisikan bagian paling enak meskipun seluruh raga terasa habis dijadikan samsak. "Gue pake, tapi lupa ngancingin."

Tangan kekar dan dihiasi urat kehijauan milik Jeano dengan sukarela membantu untuk mencari posisi, dengan amat pelan mengangkat kaki Alkana dan meletakkan bantal di bawahnya. Lalu, selimut putih dihiasi sedikit noda merah di bagian tengah kembali ia tarik agar menutup tubuh temannya dengan sempurna.

"Gue tepat janji, kan? Enggak mati," kata Alkana dengan cengiran kelewat lebar, seolah dia berbicara bukan dengan kondisi wajah yang memar.

"Jadi lo sengaja?"

"Ya, enggak! Gue nggak sengaja ngeliat bayangan orang lewat di jalan, gue kira manusia, makanya ngerem, tapi keknya hantu, nggak, sih?"

"Nggak usah bercanda, nggak lucu," jawab Jeano ketus sebelum menarik kursi dan duduk di samping bangsal.

"Serius amat."

Helaan napas yang berat keluar dari celah bibir milik sang empu senyum bulan sabit. Lelaki itu menatap Alkana dengan alis bertaut seolah sanggup menelan temannya hidup-hidup. "Jadi lo nyuruh gue beracanda? Dengan kondisi wajah lo memar, pala lo diperban, kaki patah, dan luka-luka di lengan?"

Alkana reflek mengangkat tangan untuk melihat luka yang dimaksud. Lelaki itu meringis ketika tubuhnya benar-benar lecet jelek. Sudah benar jika dia menggunakan jaket sebelum pulang, tetapi jiwa malas membuat benda itu hanya tersampir di stang motor.

"Gue nggak mati juga, Ege."

"Diem, deh, lo. Jangan bikin gue makin emosi, udah gue bilang nggak usah jadi gila di jalan, masokis, ya, lo? Suka amat nyiksa diri, atau mau COD sama malaikat?"

Ringisan pelan menjadi jawaban saat Alkana tidak tahu harus mengatakan apa, karena yang dilontarkan Jeano adalah sebuah bentuk dari kepedulian.

"Gue telpon Bunda dulu," ucap Jeano ketika tidak ada kalimat yang melayang di atas mereka. Lelaki itu merogoh saku dan mengeluarkan ponsel dengan jemari mulai menari di atas layar.

"Jangan." Alkana kelewat buru-buru menjawab dengan kepala sedikit mendongak hingga kembali membuat ringisan keluar dari bibirnya. "Bunda mungkin masih tidur, gue nggak mati juga, nggak usah ganggu Bunda. Besok pagi aja pas udah dapat kamar, ini rumah sakit juga udah gue tawarin uang masih nggak ada kamar."

A Cup Of Hot ChocolateWhere stories live. Discover now